Di bulan bertepatan dengan bunga-bunga mulai bermekaran ini, ada satu hal yang membuat hati ini runtuh laksana daun di musim gugur. Hal itu membuat saya berfikir berhari-hari betapa aku tak mahir di apapun. Akulah si medioker itu. Tak mahir di hal apapun. Namun, aku cukup percaya diri berkata jika aku tak sebodoh itu. Jadi istripun aku medioker, jadi ibu juga medioker. Lalu jadi pelajar akupun medioker, jadi pegawaipun medioker. Seorang temen berkata, jika jadi medioker saja kita hidup. Lantas, kenapa bersusah payah jika memang tidak mahir. Ya, itu benar juga. Namun, merasa tidak cakap dalam suatu hal juga menyebalkan.
Di kota minim interaksi ini, aku meromantisasi keterasingan. Alam di sini sangat indah. Infrasturktur juga berdiri kokoh dengan keteraturannya yang luar biasa. Namun, kehangatan manusia di sini serupa dengan cuaca di bulan Januari. Di waktu yang sama dan tempat yang sama aku menciptakan cerita sendiri tentang wajah-wajah asing itu. Setiap pagi kala aku mengantarkan anakku pergi ke sekolah. Di seberang lampu merah itu, ada laki-laki mungkin menjelang 40. Dia selalu bersandar di gedung dekat lampu merah itu sambil mengenakan jaket berwarna hijau army-nya itu. Dia menatap jalan seraya menikmati rokok yang dipegangnya di ujung-ujung jarinya. Dia terlihat lelah. Tapi, mungkin itu yang dilihatnya juga ketika melihatku. Mungkin begitulah hidup di fase-fase usia itu. Lelah tapi harus tetap berusaha. Enggan tapi tak ada pilihan. Setiap kali melintasinya, aku ingin seraya berkata "Semoga harimu menyenangkan". Namun, kalimat itu tentu saja hanya terucap di benakku tan...