Di apartemen tua ini, setiap kamar dipisahkan oleh partikel board kayu berongga. Ada suara lantai berderit saat orang yang tinggal di lantai atas berjalan, apalagi meloncat. Saat sunyi, suara flush toilet bisa terdengar, begitu juga suara air mengalir dari kran kamar mandi. Kadang-kadang, suara ini bisa memicu pertengkaran antar tetangga hingga tak jarang ada yang melapor polisi karena merasa terganggu oleh suara dari kamar di atas atau di samping. Namun, hal itu tak pernah terjadi denganku. Hal yang patut aku syukuri selama tinggal di sini. Suara tangisan anakku, atau suaraku ketika menjelma jadi singa menghadapi anak, tak membuat tetanggaku bergeming. Kami tak saling kenal, hanya sekadar tahu. Kata-kata yang terucap pun sebatas “selamat pagi” atau “selamat siang.” Meski begitu, aku cukup familiar dengan suara mereka. Oh ya, kuperkenalkan kau dengan mereka. Sepasang muda-mudi, mungkin usianya akhir 20-an. Kami tentu saja tak pernah bertegur sapa, seperti yang sudah kukatakan tadi. Tap...
Saat metahari beranjak naik, aku biasanya kembali ke kamar apartemen tuaku. Di waktu ini, biasanya aku berpapasan dengan seorang nenek di lift. Tingginya mungkin 135 cm. Dulu sekali, dengan kemampuan bahasa jepangku yang terbatas, aku berbincang dengan nenek tersebut dan bertanya berapakah usianya. Nenek itu, sambil menenteng barang bawaanya berkata bahwa dia usianya 90-an. Dia tinggal sendiri di gedung apartemen tua ini. Sambil tersenyum dia berucap, meskipun sudah tua saya sehat. Anakku juga mengunjungiku setiap hari. Lalu, pintu lift terbuka. Dia keluar, tersenyum, dan berlalu. Kita sering bertemu dan menyapa basa-basi. Bulan ini, bulan ketujuh di tahun ini. Aku mulai menyadari, tak ada nenek itu lagi. Setiap aku melintasi lantai tempat nenek itu tinggal, aku bertanya pada diriku sendiri. Kemana beliau perginya. Mungkin dia sudah pindah, atau sudah pergi. Mungkin aku tak perlu bertanya lagi, cukup mendoakan dalam diam.