Di apartemen tua ini, setiap kamar dipisahkan oleh partikel board kayu berongga. Ada suara lantai berderit saat orang yang tinggal di lantai atas berjalan, apalagi meloncat. Saat sunyi, suara flush toilet bisa terdengar, begitu juga suara air mengalir dari kran kamar mandi. Kadang-kadang, suara ini bisa memicu pertengkaran antar tetangga hingga tak jarang ada yang melapor polisi karena merasa terganggu oleh suara dari kamar di atas atau di samping.
Namun, hal itu tak pernah terjadi denganku. Hal yang patut aku syukuri selama tinggal di sini. Suara tangisan anakku, atau suaraku ketika menjelma jadi singa menghadapi anak, tak membuat tetanggaku bergeming. Kami tak saling kenal, hanya sekadar tahu. Kata-kata yang terucap pun sebatas “selamat pagi” atau “selamat siang.” Meski begitu, aku cukup familiar dengan suara mereka.
Oh ya, kuperkenalkan kau dengan mereka. Sepasang muda-mudi, mungkin usianya akhir 20-an. Kami tentu saja tak pernah bertegur sapa, seperti yang sudah kukatakan tadi. Tapi aku cukup mengenal suara mereka. Setiap pukul 10 malam, suara mulai terdengar dari kamar sebelah. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak tahu. Yang aku tahu, mereka mengobrol santai dari jam 10 malam hingga jam 5 pagi. Setiap hari.
Jika tengah malam atau subuh aku terbangun dan mendengar mereka berbincang, aku sering dibuat kagum. Terkadang mereka tertawa berdua. Senyap sebentar, lalu mengobrol lagi. Begitu hingga subuh. Walau aku tak mengerti isi percakapan mereka, ada rasa hangat saat mendengarnya, laksana radio atau televisi yang kau hidupkan sekadar memecah sepi. Suara itu menjadi pengingat bahwa masih ada kehidupan di tengah kaku dan sunyinya hidup di Jepang ini.
Sesekali aku bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa terjaga sepanjang malam? Jam sebelas saja mataku sudah memaksa untuk terpejam. Lalu aku ingat, aku pun dulu bisa terjaga seperti mereka di usia yang sama. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. Tak apa. Kita semua akan melewatinya.
Ada yang berubah sebulan belakangan ini.
Aku tak lagi mendengar obrolan dini hari itu. Tak ada lagi tawa yang mengisi malam. Beberapa kali aku ke balkon, memastikan apakah mereka pindah. Tapi kulihat lampu mereka masih menyala, menandakan ada kehidupan. Hanya saja, tak ada suara.
Banyak pertanyaan bergaung di kepalaku. Apakah mereka tak lagi bersama? Apa salah satu dari mereka pindah? Aku membuat skenario sendiri di benakku, tanpa pernah tahu jawabannya.
Yang jelas, aku kehilangan “radio” penanda kehidupan itu. Tapi mungkin, seperti mereka, aku pun harus belajar berdamai dengan sepi.
Comments
Post a Comment