Skip to main content

Posts

Semua Berjuang

Suatu hari, saya melewati pusat pertokoan yang sangat ramai di Sapporo. Ada segerombolan anak muda dengan sepedanya berkumpul duduk di trotar dekat restoran cepat saji. Bukan berkumpul untuk berbincang biasa. Mereka menatap layar handphonenya untuk mengetahui apakah ada orderan pesan antar yang masuk. Mereka sepertinya melakukan kerja paruh waktu pengantaran via aplikasi. Di sini tak ada gojek, tapi ada berbagai aplikasi pesan antar yang lain.  Lalu, di apartemen saya yang tua. Saya seringkali bertemu dengan laki-laki, mungkin usianya medio 30 tahun. Dia selalu mengikatkan handuk putih di kepalanya. Dia orang spesial, kemana-mana menggunakan kursi roda. Lalu di tengah musim dingin yang menusuk tulang ini, saya tiba-tiba teringat pada laki-laki itu. Bagaimana dia keluar rumah saat salju setinggi ini. Roda di kursinya pasti susah berjalan di salju yang kadang licin kadang memenuhi jalan setapak.  Ada satu orang lagi yang membuat aku berpikir. Seorang nenek, mungkin tingginya 130 cm. Di p
Recent posts

Berkumpul dengan Keluarga adalah Rejeki Tiada Tara

Hari ini sudah Februari 2024.  Awal tahun ini ada kejadian yang membuat sedih. Tapi, ya sudah. Namanya juga hidup. Kalo monoton artinya ga hidup. Biar ga larut-larut sedihnya, kita syukuri saja apa berkat yang sudah diterima di 2023. Salah satu highlight yang harus disyukuri adalah  Berkumpul dengan Keluarga. Saat orang bilang PhD itu personal journey, ternyata bagi saya bukan. Ternyata PhD itu family journey. Sebelumnya saya tidak berfikir dampak ibuk-ibuk sekolah itu sangat luas. Ada anak yang merasa sedih ditinggal ibunya, ada anak yang kesulitan beradaptasi di lingkungan baru, ada suami yang mengorbankan karirnya demi support istrinya, dan sederet hal lainnya.   Tapi terlepas dari semua masalah yang ada, Alhamdulillah di Awal tahun 2023 Gamila menyusul ke Jepang. Lalu, Desember 2023 Igo memutuskan resign dan berkumpul kembali bersama.  Mungkin dengan memutuskan tinggal di Sapporo banyak kenyamanan yang terusik, tabungan menjerit karena income menurun, atau sakit-sakitan karena gak

Lika-liku Menyekolahkan Anak Usia Dini di Jepang

Sebagai ibu-ibu yang memutuskan sekolah, banyak sekali hal-hal yang patut dipikirakan, salah satunya adalah bagaimana menyekolahkan anak khususnya usia dini di negara tempat emaknya sekolah. Segala hal dipikirakan oleh emak-emak yang berujung dengan overthinking. Namun setelah dijalani ternyata so far so good.  Gamila, anak saya yang berumur 5 tahun, hingga saya mengetik post ini sudah bersekolah selama kurang lebih delapan bulan di Sapporo, Hokkaido, Japan. Selama kurun waktu delapan bulan banyak sekali hal yang terjadi terkait sekolah usia dini ini. Saya tidak akan membahas teknis bagaimana cara apply sekolah tapi hal-hal lain yang dirasakan emaknya atau anaknya selama sekolah di negeri orang yang beda bahasa, kultur dan cara pendidikan.  Adaptasi dan Sosialisasi  Perlu sekitar 4 bulan hingga Gamila tidak menangis saat saya drop off sekolah. Sebelum 4 bulan itu, perpisahan dengan gamila di sekolah selalu diiringi dengan tangis yang cukup heboh. Gurunya selalu memeluk sambil menahan

Pindahan (Lagi)

 "Be careful what you wish for"  Kayaknya itu kata yang tepat mewakili apa yang terjadi di saya setahun terakhir. Dulu pernah berucap "Mau S3 pas anaknya udah gedean dikit, biar anaknya bisa ngerasain sekolah di luar negri". Nah, akhirnya coba apply S3, baru ada rejeki pas anaknya udah TK. Sementara itu emaknya udah agak ketuaan sekolahnya.  Maret ini, tepatnya tanggal 17 Maret. Gamila pindah ke Sapporo. Dia akan sekolah di sekolah baru nanti tanggal 1 April 2023. Bismillah ya, saya sekolah ini dan pindah ke sini juga memberi manfaat positif buat Gamila. Gamila 5 tahun udah kenalan sama negara lain selain Indonesia. Semoga ini bisa jadi pijakan dia untuk melangkah lebih tinggi dibanding Ibu dan papa nya.  Seminggu setelah kami tiba di Sapporo, kecemasan-kecemasan saya terkait Gamila berkurang sedikit demi sedikit. Tidak disangka, ternyata dia santai-santai aja menghadapi udara dingin. Gak drama diajak commute naik kereta dan jalan kaki. Plus, juga makannya doyan (me

Me Time Empat Bulan Lamanya

Berpisah dengan keluarga (anak dan suami) adalah salah satu proses yang tidak bisa dihindari sebagai salah satu perjalanan sekolah lagi. Bagaimana perasaanya? wah nano-nano bun.  "Kok bisa sih ninggalin anak?" Begitulah respon mayoritas yang dilontarkan banyak orang. Susah dihindari dan sebenarnya sulit dijawab. Tapi sejauh ini saya punya support system yang baik sehingga meyakinkan saya untuk bisa berpisah sementara sama anak. Support system terbesar tentu saja suami saya, mertua, dan ipar. Gak usah cemas, karena ada papanya, orangtuanya juga yang merupakan tempat ternyaman Gamila, anak saya.  Di awal episode berpisah sementara dengan Gamila, tentu saja penuh drama. Minggu-minggu pertama saya di Sapporo, saya sering sekali menangis sambil berpikir apa yang saya cari hingga mau berpisah dengan anak. Seiring waktu, saya mulai bisa meregulasi emosi saya. Saya meyakinkan diri saya bahwa gak ada gunanya nangis-nangis, toh akan lebih baik kalo semua dijalanin dengan bahagia dan te

Lima Hal di 2022

Hari ini, hari terakhir di 2022. Ada perbedaan signifikan di akhir tahun ini dengan akhir tahun sebelum-sebelumnya. Akhir tahun ini terasa bedanya karena ada long winter break , yang  hanya terjadi di negara-negara subtropis.  Di sini, ada libur sekitar seminggu bahakan lebih untuk merayakan akhir tahun. Ada yang mudik berkumpul dengan keluarga, jalan-jalan dan sederet kegiatan lainnya (red: ga tau apalagi aktivitasnya). Saya, di akhir tahun ini memilih banyak di rumah aja, sedikit belajar bahasa jepang, sedikit memasak, banyak rebahan sambil nonton netflix. Lalu, kepikiran nulis aja di blog biar gak lupa. Ada banyak hal di 2022 ini. ada yang sedih dan ada yang happy. Karena ini dibaca banyak orang, kita tulis yang happy-happy aja. Here we go.. Nyebrang feri dari lombok ke sumbawa  1. Berkunjung ke Nusa Tenggara Barat  Akhirnya punya kesempatan jalan-jalan ke NTB. Masya Allah, indah banget alam, landscape, dan pantainya. Di sini saat saya ngobrol dengan seorang rekan dia bilang "S

1/1095

September tahun 2012 dan September 2022.   Musim gugur, bulan, dan tahun, tersebut saya menginjakkan kaki di negeri matahari terbit, Jepang. Sepuluh tahun lalu saya mengikuti pertukaran pelajar di Tsukuba University dan sekarang mengawali program PhD di Hokkaido University.  Alhamdulillah, Allah kasih jalan untuk saya PhD.  Tapi rasanya sungguh terasa berbeda dengan 10 tahun lalu. Saya masih ingat betul betapa semangatnya dulu saya melangkah saat di bandara. Ternyata, kondisi sangat berbeda tahun ini. Perasaan campur aduk karena harus meninggalkan anak sementara. Banyak ketakutan-ketakutan yang ada di kepala. Hati meyakinkan diri, bahwa akan banyak hal positif yang akan di dapat.  Kita ga dapat apa-apa kalo ga kemana-mana dan bertumbuh itu mungkin sedikit ga nyaman, tapi yakin pasti ada manfaatnya buat kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.  Bismillah.