Sebagai ibu-ibu yang memutuskan sekolah, banyak sekali hal-hal yang patut dipikirakan, salah satunya adalah bagaimana menyekolahkan anak khususnya usia dini di negara tempat emaknya sekolah. Segala hal dipikirakan oleh emak-emak yang berujung dengan overthinking. Namun setelah dijalani ternyata so far so good.
Gamila, anak saya yang berumur 5 tahun, hingga saya mengetik post ini sudah bersekolah selama kurang lebih delapan bulan di Sapporo, Hokkaido, Japan. Selama kurun waktu delapan bulan banyak sekali hal yang terjadi terkait sekolah usia dini ini. Saya tidak akan membahas teknis bagaimana cara apply sekolah tapi hal-hal lain yang dirasakan emaknya atau anaknya selama sekolah di negeri orang yang beda bahasa, kultur dan cara pendidikan.
Adaptasi dan Sosialisasi
Perlu sekitar 4 bulan hingga Gamila tidak menangis saat saya drop off sekolah. Sebelum 4 bulan itu, perpisahan dengan gamila di sekolah selalu diiringi dengan tangis yang cukup heboh. Gurunya selalu memeluk sambil menahan dia untuk berlari mengejar saya saat saya tinggal di sekolah. Hal seperti ini berlangsung selama kurang lebih 4 bulan. Tentu saja ada hari-hari dia tidak menangis, namun bisa dihitung jari. Saat saya bertanya ke gamila, kenapa sedih kalo ditinggal ibu, dia menjawab dia sedih karena kesepian, tidak bisa bahasa jepang. Ibu siapa yang tidak sedih mendengar ini, apalagi ibunya juga kemampuan bahasa jepangnya juga nol besar.
Namun, setelah 4 bulan dia mulai nyaman dan bisa mengucapkan bahasa jepang yang sederhana untuk berkomunikasi dengan temannya. Selama di sekolah saya juga mengamati, gamila berteman dengan anak-anak non-japanese dan juga berkomunikasi dengan bahasa inggris.
Metode Pengajaran
Di jepang sekolah usia dini yang durasi pengajarannya sama dengan TK atau PAUD di Indonesia. Namun gamila masuk sekolah "Hoikuen" atau bisa dibilang daycare. Di daycare, anak bisa dititipkan dari jam 8 hingga jam 8 malam. Gamila sendiri sekolahnya dari jam 9 sampai jam 6 sore. Dalam periode itu, ada waktu tidur siang, lunch, juga waktu nyemil sore.
Ada banyak perbedaan cara pengajaran di sekolah paud usia dini ala jepang dan indonesia. Kalo saya amati, di sini sistem pengajarannya lebih ke montessori based. Tidak ada pengajaran calistung. Yang ada hanya main, bebikinan, berkreasi, olahraga, dan main dan main. Satu lagi yang menjadi perhatian saya, sarana pembelajaran yang digunakan di sini itu banyak menggunakan bahan-bahan bekas, seperti: menggambar di kertas bekas, berkreasi dengan kardus bekas, botol bekas, dll. Permainannya juga disesuaikan dengan musim. Pada saat winter, aktivitas banyak dilakukan di salam ruangan. Saat summer, aktivitas dengan menggunakan air banyak dilakukan. Metode bermain yang digunakan juga cenderung ke tipe "open play", yang membuat anak-anak terpaksa berfikir kreatif.
Di sini kemandirian juga benar-benar ditekankan. Anak tidak dilayani di sekolah. Habis makan membereskan piringnya sendiri, manaruh barang-barangnya sendiri, ganti baju sendiri, menata kasur untuk tidur siang sendiri adalah rutinitas yang dilakukan setiap harinya. Semua barang dan interior sekolah ditata sedemikian rupa agar bisa dijangkau anak. Rak yang digunakan setiap anak semua diatur agar bisa dijangkau olah sang anak.Gamila sendiri tidak mengeluh. Tapi kalo di rumah mode manjanya balik lagi 😅.
Sebenernya sekolah yang seperti ini ya banyak banget di Indonesia. Namun, umumnya harganya tergolong mahal.
Minusnya?
Suatu hal pasti gak ada yang sempurna ya. Ada hal yang tidak saya dapatkan di sini, yakni pangajaran agama kepada anak.
Satu lagi yang berasa juga, sedikit sekali dokumentasi yang bisa didapatkan si sekolah. Namun, ya harus beli. Satu lagi, privasi di sini sangat tinggi, sehingga susah dapat foto yang bisa kita cetak atau dikenang di medsos (Ini sih emaknya yang mau narsis 😏).
Comments
Post a Comment