Norak !, bisa dibilang seperti itu saat merasa senang menjejakkan kaki di Jambi, salah satu daratan di bumi Andalas. Setalah sempat menjejakkan kaki di bumi Wallacea dan Borneo, saya berikrar untuk menapkkan kaki di Sumatra yang notabene merupakan solusi saya tahun ini dan sudah terwujud di awal tahun 2011 ini.
Oke, kita lupakan perasaan norak ini. Langsung saja saya akan memberikan oleh-oleh yang terekam oleh mata dan otak saya selama beberapa hari di Jambi melalui tulisan saya.
Melayu “O”
Tak ubahnya dengan Pontianak, budaya melayu kental terasa di sini. Mulai dari rumah panggung dan lifestyle orang-orang di Jambi terhadap cara berpakaian memiliki kemiripan besar dengan Melayu di Pontianak. Hanya saja, perbedaan mendasar adalah perbedaan dialek bahasa. Melayu Jambi dalam berbicara lebih banyak mmenggunakan huruf vokal “o”, sedangkan Melayu Pontianak lebih cenderung menggunakan huruf vokal “e”. Sebagai contoh, kata “apa” dalam Melayu Jambi dikatakan “Apo”, sedangkan masyarakat Melayu Pontianak mengucapkannya “Ape”.
Sungai Batanghari
Yup, sungai Batanghari merupakan sungai utama yang merupakan ciri khas provinsi Jambi. Sungai ini merupakan sungai terpanjang di pulau Sumatra dan hampir memotong Pulau Sumatra menjadi dua bagian dan memiliki panjang kurang lebih 3322 km. Sungai ini berhulu di Propinsi Sumatra dengan muara di Kabupaten Jabung Timur Propinsi Jambi. Sungai yang lebar ini dimanfaatkan oleh masyarakat Jambi sebagi moda transportasi pengangkutan hasil bumi. Untuk transportasi air dengan sungai selama saya melihat belum terlihat pemanfaatan signifikan seperti laykana di Kalimantan. Hal ini dimungkinkan karena transportasi Darat di wilayah Provinsi Jambi sudah cukup memadai.
Nasi Gemuk
Insting kuliner untuk mencoba makanan baru di tempat baru langsung berbunyi kencang ketika seorang teman mengajak saya makan “Nasi Gemuk”. Sudah sumringah membayangkan makanan seperti apa yang akan saya santap, ternyata oh ternyata…Nasi Gemuk adalah Nasi Uduk. Hanya saja berbeda istilah layaknya masyarakat Jawa Timur menyebut nasi uduk dengan Nasi Gurih. Tapi ada perbedaan mendasar nasi uduk di daerah Jambi dengan nasi uduk di Jawa Barat ataupun Jawa Timur, yakni nasinya yang lebih “pera” atau teksturnya lebih keras dibandingan di daerah Jawa yang cenderung punel atu lembek nasinya.
Sawit Ada di Mana-mana
Menempuh perjalanan kurang lebih dua setengah jam dari kota Jambi ke kabupaten Tebing Tinggi, satu pemandangan yang tak lepas yakni sawit dimana-mana. Dengan topografi yang cenderung bergunung-gunung khas daratan Sumatra, bisa dilihat hamparan bukit yang berwarna hijau yang awalnya saya pikir adalah hutan tapi ternyata sawit. Mengutip dari Wikipedia, sektor perkebunan dan kehutanan di Jambi merupakan moda utama perekonomian. Luas kebun sawit di jambi mencapai 400.168 Ha dengan produksi sebesar 898,24 ribu ton per tahun. Hmmm..luasnya kebun sawit di sini tentu saja merupakan buah simalakama. Satu sisi bermanfaat menggerakkan perekonomian, di sisi lain kelestarian terus terancam dengan adanya konversi hutan menjadi kawasan perkebunan.
Bandara Sultan Thaha
Sebenarnya tak ada yang menonjol dengan bandara yang dimiliki provinsi Jambi ini. Tapi satu hal yang membuat saya terheran-heran saat hendak mendarat yakni Bandara ini terletak di tengah kota dengan banyak rumah penduduk di sekitaranya. Apakah tidak berbahaya? Hmmmm….
Cukup sekian. Sedih rasanya karena tak banyak yang saya mampu rekam dari kunjungan beberapa hari ke Jambi, tentu saja karena kunjungannya singkat dan bukan wisata tujuan utama saya. Next time jika ada kesempatan lebih lama pasti saya akan mengulas lebih banyak tentang daerah-daerah yang saya kunjungi. Oh ya, sepulang dari Jambi saya membawa beberapa kotak empek-empek dan tentu saja tempat penjuaalan empke-empek banyak terddapat di kota Jambi. Jadi, empek-empek itu oleh-oleh khas Jambi atau Palembang ya? ^_^
NB : Next Target, Indonesia Timur. Oh, betapa saya ingin menjejakkan kaki di kepulauan Maluku atau Halmahera.
Oke, kita lupakan perasaan norak ini. Langsung saja saya akan memberikan oleh-oleh yang terekam oleh mata dan otak saya selama beberapa hari di Jambi melalui tulisan saya.
Melayu “O”
Tak ubahnya dengan Pontianak, budaya melayu kental terasa di sini. Mulai dari rumah panggung dan lifestyle orang-orang di Jambi terhadap cara berpakaian memiliki kemiripan besar dengan Melayu di Pontianak. Hanya saja, perbedaan mendasar adalah perbedaan dialek bahasa. Melayu Jambi dalam berbicara lebih banyak mmenggunakan huruf vokal “o”, sedangkan Melayu Pontianak lebih cenderung menggunakan huruf vokal “e”. Sebagai contoh, kata “apa” dalam Melayu Jambi dikatakan “Apo”, sedangkan masyarakat Melayu Pontianak mengucapkannya “Ape”.
Sungai Batanghari
Yup, sungai Batanghari merupakan sungai utama yang merupakan ciri khas provinsi Jambi. Sungai ini merupakan sungai terpanjang di pulau Sumatra dan hampir memotong Pulau Sumatra menjadi dua bagian dan memiliki panjang kurang lebih 3322 km. Sungai ini berhulu di Propinsi Sumatra dengan muara di Kabupaten Jabung Timur Propinsi Jambi. Sungai yang lebar ini dimanfaatkan oleh masyarakat Jambi sebagi moda transportasi pengangkutan hasil bumi. Untuk transportasi air dengan sungai selama saya melihat belum terlihat pemanfaatan signifikan seperti laykana di Kalimantan. Hal ini dimungkinkan karena transportasi Darat di wilayah Provinsi Jambi sudah cukup memadai.
Nasi Gemuk
Insting kuliner untuk mencoba makanan baru di tempat baru langsung berbunyi kencang ketika seorang teman mengajak saya makan “Nasi Gemuk”. Sudah sumringah membayangkan makanan seperti apa yang akan saya santap, ternyata oh ternyata…Nasi Gemuk adalah Nasi Uduk. Hanya saja berbeda istilah layaknya masyarakat Jawa Timur menyebut nasi uduk dengan Nasi Gurih. Tapi ada perbedaan mendasar nasi uduk di daerah Jambi dengan nasi uduk di Jawa Barat ataupun Jawa Timur, yakni nasinya yang lebih “pera” atau teksturnya lebih keras dibandingan di daerah Jawa yang cenderung punel atu lembek nasinya.
Sawit Ada di Mana-mana
Menempuh perjalanan kurang lebih dua setengah jam dari kota Jambi ke kabupaten Tebing Tinggi, satu pemandangan yang tak lepas yakni sawit dimana-mana. Dengan topografi yang cenderung bergunung-gunung khas daratan Sumatra, bisa dilihat hamparan bukit yang berwarna hijau yang awalnya saya pikir adalah hutan tapi ternyata sawit. Mengutip dari Wikipedia, sektor perkebunan dan kehutanan di Jambi merupakan moda utama perekonomian. Luas kebun sawit di jambi mencapai 400.168 Ha dengan produksi sebesar 898,24 ribu ton per tahun. Hmmm..luasnya kebun sawit di sini tentu saja merupakan buah simalakama. Satu sisi bermanfaat menggerakkan perekonomian, di sisi lain kelestarian terus terancam dengan adanya konversi hutan menjadi kawasan perkebunan.
Bandara Sultan Thaha
Sebenarnya tak ada yang menonjol dengan bandara yang dimiliki provinsi Jambi ini. Tapi satu hal yang membuat saya terheran-heran saat hendak mendarat yakni Bandara ini terletak di tengah kota dengan banyak rumah penduduk di sekitaranya. Apakah tidak berbahaya? Hmmmm….
Cukup sekian. Sedih rasanya karena tak banyak yang saya mampu rekam dari kunjungan beberapa hari ke Jambi, tentu saja karena kunjungannya singkat dan bukan wisata tujuan utama saya. Next time jika ada kesempatan lebih lama pasti saya akan mengulas lebih banyak tentang daerah-daerah yang saya kunjungi. Oh ya, sepulang dari Jambi saya membawa beberapa kotak empek-empek dan tentu saja tempat penjuaalan empke-empek banyak terddapat di kota Jambi. Jadi, empek-empek itu oleh-oleh khas Jambi atau Palembang ya? ^_^
NB : Next Target, Indonesia Timur. Oh, betapa saya ingin menjejakkan kaki di kepulauan Maluku atau Halmahera.
yup...begitulah Jambi...culture masyarakatnya antara Palembang dan Padang jadi seperti abu-abu :D
ReplyDelete