Ini
hari pertamaku pindah ke apartemen baru. Dengan pekerjaan baruku saat ini , aku
mampu membayar uang sewa apartemen kategori menengah di sini. Balkon kamarku
ini sangat indah. Persis seperti apa yang kuimpiakan. Ada danau kecil di
depannya, barisan pohon hijau yang berubah warna seiring berubahnya musim. Tak
hanya itu, ada puluhan bebek yang berenang dan bermain di danau setiap pagi dan
sorenya sambil mengelurakan suara khas, yang bersahut-sahutan dengan burung air
lainnya. Tak terlewatkan juga sejenis burung merpati, burung madu serta burung
gagak hitam yang berjalan-jalan menambah deretan keindahan balkon ini. Sempurna,
seperti yang aku baca di kebanyakan novel-novel romantis itu.
Pagi
pertama ini, aku membuka jendela lebar-lebar dengan secangkir kopi panas di
genggaman. Kuseruput kopi pekat sambil memandang lukisan alam di balkonku. Kopi
di tangan kiri, dan buku di tangan kanan sambil bersandar. Indah sekali bukan
pagiku setiap harinya. Oh ya, tak lupa lagu-lagu era 90-an mengalun sebagai
pengiring pagi ini . Sekali lagi, sempurna. Seperti latar yang aku baca di
banyak novel-novel romantis.
Oh ya,
perkenalkan. Namaku Arum. 29 tahun. Hobiku membaca novel dan mungkin sebagian
hidupku terpengaruh oleh berbagai novel-novel manis yang aku baca. Saat ini aku menetap di salah satu kota kecil
di Jepang. Bukan sekolah, tapi aku berkerja di sini. Setelah menyelesaikan studi pasca sarjanaku aku memutuskan untuk
tetap tinggal di Jepang. Bukan berarti aku tak lagi cinta tanah airku Indonesia,
tapi aku memutuskan menimba sebanyak mungkin pengalaman di negeri orang ini.
Negeri matahari terbit ini dari awal merupakan
negeri tempat menyandarkan impianku.
Mungkin.
“Kapan mulih nak? “ , suara dari ujung
telepon . Suara itu suara ibuku.
“ Mboten semerap bu “.
“Mulih nak, Ibu kangen. Golek kerja nang kene
wae. Ojo adoh-adoh” .
“Arum
masih ingin di sini bu. Di sini nyaman bu”. Jawabku sebelum mengakhiri telepon
ibuku.
Kapan pulang.
Kalimat
itu, layaknya salam yang diucapkan ibuka setiap kali menelponku. Kadang aku
jengah. Mungkin alasan itu juga yang membuatku bertahan di sini. Aku sayang
sekali pada ibuku, tapi aku masih punya berbagai mimpi yang ingin aku raih di
sini. Masih banyak keindahan yang ingin aku nikmati di sini. Aku harap ibu
mengerti.
****
Balkonku
ini mungkin gambaran mesin waktu. Setiap pagi selama lima tahun aku
memandangnya, tak ada yang berubah, tetap indah sesuai musim. Saat musim gugur,
daun-daun menguning lalu hilang. Berwarna hijau muda saat musim semi dan hijau
lebat selama musim panas. Ritmenya sama, tak ada yang berubah. Sama seperti
aku, yang senantiasa memandanginya setiap bangun tidur. Dengan kopi dan buku
sambil merenung.
Lima
tahun sudah aku melakukan kebiasaan yang sama. Rasanya, ini menjadi semakin
hambar. Mungkin juga aku terbiasa oleh keindahan balkon ini. Ternyata sesuatu
yang indah lambat laun bisa menjadi dewasa.
Mungkin ini penjelas bahwa sumber keindahan itu adalah hati kita
sendiri. Layaknya, suatu objek yang sama bisa ditafsirkan berbeda oleh orang
yang berbeda. Segala keindahan ini tiba-tiba bercelah, dan kosong . Layaknya,
ada satu yang hilang yang harus dicari lagi. Aku terdiam sambil menengguk kopi
dan menatap balkonku.
Pulang.
Mungkin
aku harus kembali pulang. Menemukan celah yang kosong ini. Memulai lagi melihat
keindahan-keindahan sebelum akhirnya menjadi biasa . Aku meraih teleponku dan men-dial nomer ibuku.
“Assalamualaikum.
Ibu, Arum mau pulang”.
Ibuku
tak berkata apa-apa. Tapi aku yakin Ibuku tersenyum senang. Aku pulang. Mencari
keindahan di tempat lain dan menutup kembali celah kosong, yang saat ini sudah
menganga kembali. Aku pulang untuk kembali merayakan kehidupan dan membuat
sendiri cerita-cerita manis lain layaknya kebanyakan novel yang aku baca.
Awalnya gw sempet berpikir, "Gila, safina udah kerja aja di Jepang....Udah pindah ke apartemen yang punya pemandangan sempurna lagi..." hahahahhahaa
ReplyDelete