Aku
di ruang angkasa. Ini bukan mimpi. Aku lihat sekitarku berwarna hitam. Sepertinya
aku berada di antarabumi, bulan dan matahari. Aku melihat dengan jelas galaksi
Bima Sakti yang terkenal itu. Di sini hitam, tapi percayalah ini indah. Lihat,
bulatan merah itu. Itu pasti planet mars. Lalu aku melihat planet yang
mempunyai cincin itu. Ah, aku lupa apa namanya. Nilai geografiku jelek saat
sekolah menengah pertama dulu. Tapi tak apa, yang penting aku bisa ke luar
angkasa lebih dahulu dibandingan temanku yang memiliki nilai lebih baik.
Aku
di luar angkasa. Sekarang aku melayang-layang seperti di film-film Hollywood.
Gravitasi tak lagi bekerja di tubuhku. Rasanya enak sekali loh seperti terbang.
Aku bebas dan tak ada beban. Enak sekali di sini. Mungkin ini yang dirasakan
Neil Amstrong saat dirinya mendarat di bulan. Lalu Neil Amstrong itu
meloncat-loncat kecil. Ah, sekarang aku bisa melakukannya. Hei kamu, apa kamu
mau ikut aku di sini.
Jika
kamu di sini aku mau kau dan aku terbang bersama di ruang angkasa ini. Tidak
usah setiap hari menunggu matahari terbenam untuk melihat warna indahanya, di
sini matahari tampak terus indah dan warnanya selalu mempesona. Di sini, tak
hanya satu yang bercahaya indah, tapi banyak sekali. Aku akan tunjuk semua yang
indah untuk kamu.
Lihat
ke arah situ. Ya, itu yang lurus di depanku. Aku tak tahu itu bintang apa, tapi
sangat indah kan. Lihat sebelah kiriku. Lihat sebelah kananku. Aku tak bisa
mengendalikan kebahagiaanku ini. Aku tertawa lepas dan ini susah dihentikan.
Aku rasa aku capai tertawa , aku tertidur.
“Hey…”
katamu membangunkanku sambil mengusap tanganmu di pipiku.
Aku
membuka mata lirih. Aku masih melayang-layang di luar angkasa dan sekarang kamu
ada di hadapanku. Kamu berbaju putih khas astronot. Ada helm bulat besar
membungkus kepalamu. Kamu juga membawa tabung besar di belakang punggungmu.
Persis seperti astronot.
“Kenapa
kamu harus berpakaian Astronot dan aku tidak?" aku bertanya.
Kamu
menggenggam tanganku dan kita melayang ringan di ruang angkasa ini. Kamu belum
menjawab pertanyaanku tapi aku bisa melihat senyum mengembang di wajahmu yang
tertutup helm bulat besar itu.
“Ini
artinya kita sudah berbeda sayang”.
“Berbeda?
Apa yang berbeda? Kita sama-sama bisa melayang-layang di ruang angkasa yang indah
ini”.
“Sudahlah,
tak usah kita berdebat. Kita nikmati saja indahnya galaksi bima sakti ini.”
Aku
mengangguk dan merapatkan genggaman padanya, kekasihku yang sekarang berkostum
astronot. Kita melayang-layang terbang. Menyaksikan bintang-bintang dan planet
yang berputar pada porosnya.
“Sayang,
di sini sangat luas. Bagaimana jika kita tersesat di luar angkasa ini?” aku
bertanya sambil tetap menggenggam tangannya.
“Tenang
sayang. Setiap manusia sudah punya takdirnya masing-masing. Seperti saat ini,
takdirku bersama kamu di luar angkasa yang indah ini. Selama kita masih berdua
tak ada yang perlu dicemaskan”.
“Sayang,
maukah kau menggendongku. Tanpa gravitasi pasti tak terasa berat lagi saat kamu
menggendongku”, ucapku padamu dengan nada manja.
“Tentu
saja”, kamu mengangguk pasti.
Aku
berlari kecil ke punggungnya. Ah, ada tabung di punggungmu sedikit menyulitkan.
Tapi tanpa gravitasi sepertinya ini akan menjadi lebih menarik.
“Sudah”,
kataku.
“Baiklah,
mari bersenang-senang,” katamu dengan lantang. Seketika kamu meloncat-loncat.
Kamu menggenggam tanganku erat, kita berputar tiga ratus enam puluh derajat
layaknya pemain sirkus. Kita terbang menjelajah luar angkasa. Rasanya taka da
hal yang lebih membahagiakan daripada ini. Kita tertawa lepas dan aku rasa aku
tertidur.
-----------
Aku
terbangun. Ada cahaya putih menyilaukanku. Ini pasti cahanya matahari. Aku
membuka mataku pelan-pelan. Oh bukan, ini bukan matahari melainkan cahaya dari
jendela yang terpasang di sudut ruangan
ini. Ruangan ini kecil hanya berukuran 2 x 2 meter berdinding biru. Rupanya aku
tidak lagi di luar angkasa.
Aku
bertanya, ruangan apa ini. Dimanakah aku sekarang. Aku menggerakkan tubuhku,
sulit sekali. Ternyata ada tali yang mengikat tanganku. Dimana aku. Taka da
satu orangpun di sini. Hey kamu, kekasihku. Tolong aku. Ajak aku ke luar
angkasa lagi.
Ada
yang datang. Aku mendengar langkah-langkah kaki.
Ada
lelaki berjas putih panjang dan seorang wanita di depan ruangan ini. Mereka
berbincang.
“Bagaimana
kondisi anak saya sekarang dokter?” suara wanita itu jelas terdengar.
“Dia
masih dalam keadaan shock besar setelah kecelakaan pesawat kekasihnya itu Bu.”
Laki-laki itu menjawab.
“Kira-kira
kapan anak saya bisa pulang dari rumah sakit jiwa ini dokter?”, Tanya wanita
tersebut dengan nada cemas.
Ah
siapa yang mereka bicarakan. Dimana aku ini, ini pasti halusinasi. Tak ada
kecelakaan pesawat. Apalagi rumah sakit jiwa. Lebih baik aku kembali lagi ke
luar angkasa yang indah bersama kekasihku lagi. Kita akan bermain lagi dan melompat senang di ruang luas tanpa gravitasi.
Aku
memejamkan mata.
Aku
kembali lagi ke luar angkasa. Hey, aku melihat kekasihku di sana dalam baju
astronot melambaikan
tangannya kepadaku. Aku menghampirinya sambil tertawa bahagia.
:: setelah bosen bikin jurnal, sebuah pelarian ::
Comments
Post a Comment