Saya ingat betul, malam itu saya pulang sedikit larut dari kampus. Malam itu, bulan Februari, suhu dingin sangat menusuk. Jalanan penuh salju dan sebagian sangat licin. Saya berjalan perlahan menghindari jalan yang licin itu.
Lalu di belakang saya ada segerombolan perempuan, mungkin usianya masih belasan. Mereka berjalan bersama, sangat bahagia dan tertawa lepas. Mereka tidak mengutuk jalan salju yang licin itu seperti yang saya lakukan. Alih-alih mengutuk, mereka berselunjur bersama di jalanan licin ini.
Melihat mereka, tak terasa air mata saya menetes sambil mengingat, kapan terkahir saya merasa sebahagia itu, hidup seperti tanpa beban. Kilas memori umur dua puluhan langsung berdatangan satu persatu. Berjalan di tengah hutan bersama teman-teman. Menikmati nasi bersama yang dihampar di atas daun, atau duduk bersama menatap bintang saat kami sedang di lapangan.
Pernah. Saya pernah sebahagia itu. Masa muda yang energik, fearless, dinamis.
Saya pun tersenyum. Tidak menyesali apa yang ada sekarang. Mensyukuri saya punya pengalaman masa umur dua puluhan yang sangat menyenangkan dan tidak terlupakan. Sekarang pun bahagia, tapi prioritasnya berbeda.
Saya masih menatap segerombilan anak muda itu, dengan tersenyum. Lalu berpikir, sepertinya menyeduh tolak angin di secangkir air hangat rasanya enak di udara Sapporo yang dingin.
Comments
Post a Comment