Skip to main content

Posts

Showing posts from 2024

Pelik

Apa profesi yang paling pelik di dunia? tentu saja aku menjawab menjadi ibu. Sekali lagi, aku harus bilang, ini menurutku.  Minggu kemarin, anakku menginap si sekolah. Alih-alih aku merasa senang karena malam bisa hening, ternyata aku susah tidur. Aku merindukan gamila. Lalu, malam itu pun berakhir dengan aku bekerja di depan layar laptop sepanjang malam. Namun, satu hal yang lucu lagi. Saat dia sudah tiba di rumah kami bersitegang lagi. Sambil aku bergumam dalam hati, Ya Allah aku butuh ketenangan. Memang lucu.  Lalu, ada hal yang lebih membingungkan lagi.  Menjadi ibu adalah hal yang pelik saat kita berkerja. Saat kita sangat passionate dengan pekerjaan, seorang ibu di sisi lain merasa gagal karena tidak bisa membersamai anak. Lebih buruk lagi, kadang kita dibilang mengorbankan kemajuan anak karena kita sibuk meraih cita-cita kita. Sungguh pelik dan membingungkan.  Masih di tengah kepelikan ini, aku menyesap kopi pada pukul 9 malam hari ini. Aku berharap, badanku bisa terjaga lebih l

Perkara Akhir Pekan

Tidak pernah terbayangkan olehku, akhir pekan bisa menjadi rumit.  Di kurun waktu yang sempit itu, banyak sekali yang harus dilakukan. Sebagian pikiran dan raga ingin berdiam diri saja tidak berkerja atau memikirkan apa-apa. Tapi ada yang berkata "hai, ini waktunya bersosialisasi dengan banyak orang".  Di sisi yang lain, ada perabot berantakan yang menuntut untuk dirapikan.  Tak lupa, dari dalam lemari pendingin ada yang menyahut "akhir pekan adalah waktu yg tepat untuk menyiapkan makanan seminggu ke depan". Saat otak masih belum menentukan kemana raga ini bergerak, ada anak berusia enam tahun menuntut pergi ke taman untuk jalan-jalan.  "Ibu, ayo main kan ini hari libur", begitu ujarnya. Lalu aku menengok prakiraan cuaca di gawaiku. Sial, ini hari yang berangin dan dingin.  Aku bingung dan belum menentukan akan kemana. Apa sebaiknya kita menarik selimut saja? 

Daun yang Berubah Warna

Pada bulan ini, daun-daun mulai berganti warna. Beberapa sahabat yang telah menyelasaikan studinya kembali ke Indonesia. Lalu, datang juga beberapa teman baru. Semua berganti begitu cepat.  Di masa daun berguguran ini, ada juga yang berubah. Perasaan sedih yang sempat menghampiri di waktu-waktu kemarin perlahan beranjak berganti perasaan yang penuh semangat. Entah hanya sementara atau akan bertahan lebih lama. Yang jelas, aku menyukai ini. Membuatku sedikit merasa semangat mengerjakan tesis yang semakin lama terasa semakin susah ini.  Ternyata menyisipkan doa agar Allah selalu memberi perasaan bahagia dan hati yang tenang sungguh perlu di usia sekarang mungkin. Tidak muluk-muluk ingin harta melimpah atau lainnya. Tapi kalo Allah kasih juga saya makin senang :). Toh, diakui atau tidak, semua masalah bebannya berkurang kalo banyak uang. Desu ne ..

Tiga Puluh Tujuh

 Akhir bulan Juli ini, saya menginjak usia tiga puluh tujuh. Alhamdulillah.  Alih-alih merasa tua seperti yang saya rasakan saat ulang tahun di tahun-tahun sebelumnya, tahun ini saya merasa senang di usia ini. Alhamdulillah sehat dan berdaya. Di usia ini hidup tenang karena finansial aman. Tidak kaya, namun relatif aman. Itu cukup sudah. Biarpun kadang sering sedih, namun jika dipikir-pikir banyak sekali berkat Allah yang diberikan pada saya.  Di usia ini saya tiba-tiba teringat suatu momen di saat saya 27 tahun. Di suatu hari, saya bertemu dengan rekan kerja saya yang usianya bertaut 10 tahun. Beliau berusia 37 tahun saat itu. Saya mengamati barang yang dia bawa saat itu obat mag, obat sakit kepala, dan essential oil yang pada saat itu saya percaya itu cuma scam.  Lalu seketika saya tersenyum ketika membuka laci meja kerja saya yang isinya bodrex migra, mylanta, dan juga fresh care. Yak, saya sedikit jompo. Tapi tak mengapa, kita nikmati saja.  Lalu, di usia ini saya menyadari menanya

Berbincang dengan Psikolog

Di musim panas yang meriah ini, ada hari dimana saya merasa hari saya terasa mendung. Semua terasa dingin seperti layaknya musim dingin. Di hari-hari itu, saya memutusakan untuk ke psikolog gratisan yang disediakan oleh kampus.  "Apa yang anda rasakan?", begitu tanyanya.  " I felt overwhelmed ", saya menjawab.  Dari situ Ibu itu mengurai satu-satu keruwetan di pikiran saya. Menghadiri sesi psikolog tak serta merta membuat bahagia atau lega. Ada satu waktu, saya merasa sesi konsultasi ini membat saya merasa lebih terbebani. Ada hal yang serta merta saya ingin lupakan, tapi jadi kembali ke permukaan.  Bisa jadi, mungkin itulah prosesnya.  Ada satu waktu, saya mengutarakan bahwa saya merasa gagal karena tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik karena satu dan lain hal. Lalu, beliau memberi sebuah perumpamaan.  " Isi gelas satu orang dengan gelas yang lain itu sangat berbeda. Beban kamu dengan beban orang lain tentu beda. Somehow, beban kamu bisa saja lebih berat&

Bulan Keenam

Bulan keenam di tahun ini ditandai dengan berbagai festival yang mulai diselenggarakan di berbagai tempat. Saya menghadiri dua festival di bulan ini. Orang-orang sangat ramai, menikmati cuaca yang hangat. Semua membawa karpetnya, merebahkan tubuh menikmati matahari. Mereka bersenda gurau dengan teman sambil memakan eskrim yang segar.  Lahir dan tumbuh di negara tropis membuat saya tidak menyadari betapa "mahal"nya cahaya matahari. Semua terlihat biasa. Namun, di sini kita merayakan matahari yang bersinar. Daun-daun yang tumbuh hijau dengan gradasinya, bunga yang berwarna-warni, petani mulai menanam benihnya, dan suara burung yang yang beraneka ragam. Ternyata, setelah musim dingin yang lama, tanaman dan bunga liar pun nampak indah di sini.  Kadang pernah terpikir, kenapa kita tidak terlalu menikmati cahaya matahari saat di Indonesia? Mungkin jawabannya adalah karena itu tersedia tak terbatas. Jika di Sapporo ini cahaya matahari melambangkan rasa bahagia, kenapa di Indonesia k

Lebih Dari Seratus Persen

Jika seorang ibu ditanya berapa persen cintanya diberikan untuk anaknya? bisa jadi semua kan menjawab lebih dari seratus persen. Bisa jadi dua ratus persen. Semua hidupnya untuk anaknya.  Ternyata memiliki anak menyadarkan saya  apa yang selama ini hilang di hidup saya: cinta yang sangat mendalam dari ibu untuk anaknya.  Ditinggal Ibu sejak kecil tak membuat saya sedih. Saya tidak merasa kehilangan sosok seorang Ibu, kamu tahu kenapa? karena saya masih sangat kecil untuk mengingat bagaimana seorang anak dicintai begitu dahsyatnya. Bagaimana bisa merasa kehilangan saat kita tidak pernah merasa memiliki?. Hidup berjalan normal tanpa merasa kurang. Sesekali memang terasa sedih jika melihat keluarga lain.  Saya ingat betul momen ketika saya merasa sangat sedih. Saat itu saya sedang di asrama kampus. Suatu ketika ibu teman saya datang membawakan makanan dan merapikan kasur di asramanya. Lalu saya berpikir, wah apa rasanya diperlakukan seperti itu?  Lalu datanglah gamila, anak saya yang seka

Dua Puluh

Saya ingat betul, malam itu saya pulang sedikit larut dari kampus. Malam itu, bulan Februari, suhu dingin sangat menusuk. Jalanan penuh salju dan sebagian sangat licin. Saya berjalan perlahan menghindari jalan yang licin itu. Lalu di belakang saya ada segerombolan perempuan, mungkin usianya masih belasan. Mereka berjalan bersama, sangat bahagia dan tertawa lepas. Mereka tidak mengutuk jalan salju yang licin itu seperti yang saya lakukan. Alih-alih mengutuk, mereka berselunjur bersama di jalanan licin ini.  Melihat mereka, tak terasa air mata saya menetes sambil mengingat, kapan terkahir saya merasa sebahagia itu, hidup seperti tanpa beban. Kilas memori umur dua puluhan langsung berdatangan satu persatu. Berjalan di tengah hutan bersama teman-teman. Menikmati nasi bersama yang dihampar di atas daun, atau duduk bersama menatap bintang saat kami sedang di lapangan.  Pernah. Saya pernah sebahagia itu. Masa muda yang energik, fearless , dinamis.  Saya pun tersenyum. Tidak menyesali apa yang

Lima Puluh Persen: Menikmati Prosesnya

Lima puluh persen. Bulan ini menandai tengah periode perjalanan PhD saya di sini. Banyak yang terjadi, secara jiwa dan raga. Saya yang (bisa dibilang) suka sama riset, merasa passion saya di dunia penelitian ternyata berasa meleyot di perjalanan PhD ini.  Bisa dibilang, bukan riset yang bikin stress, tapi faktor-faktor lainnya. Impostor syndrome, masalah dengan supervisor, kesepian, burn out, relationship, dan lainnya. Ada kalanya saya menyesali proses yang saya jalani sekarang. Titik ini menghadirkan kesedihan yang saya tidak bayangkan sebelumnya.  Di titik ini,  saya mencoba mengurai satu persatu benang kusut. Saya pergi ke psikolog, bicara dengan teman, dan juga mencari saran dari beberapa teman. Pada akhirnya saya mendapat kesimpulan: inilah jalannya. Pelan-pelan bisa berjalan. Pasti ada makna yang tersirat, ada hikmah yang Allah kasih kepada saya melalui jalan ini.  Bisa jadi patah hati ini adalah cara Allah mengingatkan saya bahwa Dia masih ada. Ini caranya agar saya selalu mengi

Semua Berjuang

Suatu hari, saya melewati pusat pertokoan yang sangat ramai di Sapporo. Ada segerombolan anak muda dengan sepedanya berkumpul duduk di trotar dekat restoran cepat saji. Bukan berkumpul untuk berbincang biasa. Mereka menatap layar handphonenya untuk mengetahui apakah ada orderan pesan antar yang masuk. Mereka sepertinya melakukan kerja paruh waktu pengantaran via aplikasi. Di sini tak ada gojek, tapi ada berbagai aplikasi pesan antar yang lain.  Lalu, di apartemen saya yang tua. Saya seringkali bertemu dengan laki-laki, mungkin usianya medio 30 tahun. Dia selalu mengikatkan handuk putih di kepalanya. Dia orang spesial, kemana-mana menggunakan kursi roda. Lalu di tengah musim dingin yang menusuk tulang ini, saya tiba-tiba teringat pada laki-laki itu. Bagaimana dia keluar rumah saat salju setinggi ini. Roda di kursinya pasti susah berjalan di salju yang kadang licin kadang memenuhi jalan setapak.  Ada satu orang lagi yang membuat aku berpikir. Seorang nenek, mungkin tingginya 130 cm. Di p

Berkumpul dengan Keluarga adalah Rejeki Tiada Tara

Hari ini sudah Februari 2024.  Awal tahun ini ada kejadian yang membuat sedih. Tapi, ya sudah. Namanya juga hidup. Kalo monoton artinya ga hidup. Biar ga larut-larut sedihnya, kita syukuri saja apa berkat yang sudah diterima di 2023. Salah satu highlight yang harus disyukuri adalah  Berkumpul dengan Keluarga. Saat orang bilang PhD itu personal journey, ternyata bagi saya bukan. Ternyata PhD itu family journey. Sebelumnya saya tidak berfikir dampak ibuk-ibuk sekolah itu sangat luas. Ada anak yang merasa sedih ditinggal ibunya, ada anak yang kesulitan beradaptasi di lingkungan baru, ada suami yang mengorbankan karirnya demi support istrinya, dan sederet hal lainnya.   Tapi terlepas dari semua masalah yang ada, Alhamdulillah di Awal tahun 2023 Gamila menyusul ke Jepang. Lalu, Desember 2023 Igo memutuskan resign dan berkumpul kembali bersama.  Mungkin dengan memutuskan tinggal di Sapporo banyak kenyamanan yang terusik, tabungan menjerit karena income menurun, atau sakit-sakitan karena gak