Aku terhempas ke dinding ini, lalu mengusap tetesan darah dari keningku.
"Cukup", kataku merintih kepadamu.
Kamu tak berkata apa-apa. Tapi tanganmu mengrah ke pipiku dan menamparku keras. Kurasakan getir darah dari ujung bibirku.
"Cukup, hentikan.. Sakit", lagi- lagi aku
Merintih padamu.
"Kenapa..? ". Tanyaku padamu sambil menangis di sudut dinding ini.
"Ada sebagian diriku di dirimu. Saat ini aku sedang sakit hati. Kesal. Lelah. Tapi kamu malah diam saja di sini, sibuk dengan dirimu sendiri. Kamu
Harus merasakan juga apa yang aku rasakan". Katamu dengan mata nanar, tersenyum Menatap mataku.
"Kamu sakit..", kataku ringkih.
Plak. Satu lagi tamparan mengarah ke pipiku. Lalu semuanya gelap. Aku pingsan.
****
Aku tak menyadarinya. Semuanya manis saat kita pertama berjumpa, lalu seperti mimpi buruk saat aku memutuskan menikah denganmu. Ada sebagian diriku dalam dirimu. Itu yang kamu ucapkan berulang-ulang. Saatn kamu dikecewakan orang, aku hrus merasaknnya. Begitu kamu
Bilang.
Saat kamu bahagia. Aku bahagia. Kamu menghujaniku dengan berjuta kata cinta, ratusan kado, dan cumbuan. Aku senang. Tapi aku tak pernah mengerti sisi hitammu yang lain.
****
"Ada sebagian dirimu dalam diriku ", kataku lirih, seraya membasuh darah yang mengalir di dinding ini.
Aku mungkin tak perlu lagi ragamu, karena sebagian dirimu ada dalam
Diriku.
Aku memandangmu di sudut tembok ini. Tembok dimana biasanya, kamu
Menghempaskan aku.
Aku melihat banyak pecahan kaca dan darah menyatu sempurna.
Aku merapikan diriku. Menyisir rambutku, membasuh bibirku dengan lipstik merah. Lalu aku melajukan mobilku ke kantor polisi.
Aku menyerahkan diriku ke polisi. Maaf, aku tak sanggup lagi saat itu. Aku hanya mencoba mempertahankan diriku. Lalu, aku membunuhmu, suamiku.
Comments
Post a Comment