"Sudah usang", kakakku menimpali
"Tidak apa, aku simpan", lantas mengambil selembar kertas gambar berisi sketsa diriku yang aku dapat darinya mungkin 7 tahun lalu.
###
Dia. Ah, rasanya sulit sekali mengerti dia pada saat itu. Dia hidup pada dunianya sendiri. Dia berpegang pada pensil di tangan kanannya dan sebundel kertas gambar. Dia hanya bicara melalui skestsanya. Aneh. Begitu orang bilang. Kuper. Begitu kesan orang.
Tapi bagiku tidak.
Dia. Ah dia sungguh indah. Sering sekali aku mencuri pandang garis hidungnya yang tinggi, kulitnya yang bersih, rambutnya yang berwarna kelam, serta jari-jemarinya yang lihai memainkan pensil di atas kertas gambar. Jari-jari itu meliuk-liuk menggoreskan grafit hitam di atas kertas menghasilkan coretan-coretan indah. Di atas kertas gambar itu, hitam beradu diatas putih menghasilkan karya sempurna dari tangannya.
Tapi, berbincang denganmu aku belum pernah. Ah, tapi rasanya tak perlu. Aku bisa menikmati keindahanmu dari jauh. Kamu, selalu ada duduk tepat pada jam empat sore di taman itu,membawa kertas dan pensil. Aku melihatmu melayangkan pandangmu jauh, lalu melemparkan pandangmu di atas kertas gambar, lalu jari jemarimu menari bersama pensil itu.
Ah, Indah sekali .
Sore ini, jam empat. Aku tidak melihatmu di situ. Mungkin 5 menit lagi.
Tapi, tak kutemui jejakmu.
Sepuluh menit lagi.
Tapi... Nihil.
Baiklah. Besok, aku menunggumu di tempat yang sama, Jam empat di taman ini.
Tapi, Kosong.
Kamu tak ada.
Esok hari. Hari berikutnya, dan berikutnya...kamu juga tak ada.
###
"Kamu tahu kemana dia?" tanyaku pada seorang teman.
"Kamu belum tahu? dia sedang di rumah sakit. Penyakit ginjalnya kambuh", kata temanku.
Aku terdiam. Ah, ini alasan kenapa dia tak ada di taman itu pukul empat sore. Aku termenung, lalu ujung mataku terasa basah. Aku menengadah ke atas. Oh, Gusti, sehatkan dia. Ada orang yang merindukan keindahannya. Orang itu aku.
###
"Hey...", tiba-tiba terdengar suara orang memanggilku dari belakang punggungku.
"Hey...juga", jawabku kaku. Lidahku kelu saat mengetahui kamu yang memanggilku. Ya, kamu, yang selalu aku tunggu pukul empat sore di taman ini.
"Ini, untukmu...", dia mengulurkan selembar kertas putih dengan guratan-guratan hitam di atasnya. Gambar itu, gambar sketsa wajahku.
"Bagaimana bisa kamu menggambar ini?" , tanyaku kepadanya sambil merasakan merah membakar pipiku.
"Aku datang kesini setiap pukul empat, untuk melihatmu dari kejauhan. Kamu sungguh indah....", Dia berkata sambil mengarahkan pandangnya lurus ke dedaunan hijau di taman ini.
"Tapi, beberapa hari ini aku tidak bisa datang ke sini dan aku merindukan keindahanmu. Lalu, aku melukis wajahmu agar aku bisa mendapatkan keindahan itu saat aku tak melihatmu", tambahnya lagi.
Aku terdiam. Mulutku menganga. Aku tak bisa berkata apapun.
"Aku akan sangat senang jika kamu mau menyimpan sketsa itu", tandasanya sambil tersenyum.
Aku melihat sketsa wajahku darimu. Bagaimana kamu hafal setiap gurat wajahku. Bagaimana kamu ingat detil tulang wajahku, dan semyumku. Terlalu banyak pertanyaan di benakku yang harus kuproleh jawabnya langsung darimu.
"Tapi, aku ingin bertanya.....", kataku. Aku mengarahkan pandang keseluruh taman ini. Kamu dimana? kenapa menghilang begitu cepat. Aku bahkan belum sempat berterima kasih padamu. Aku juga belum sempat mengutarakan pertanyaan-pertanyaanku padamu.
Kamu di mana?
###
Sejak sore itu, pukul empat. Aku tak melihatmu lagi. Aku tanya pada seorang teman, dia bilang kamu pindah kota untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang intensif. Di lain waktu, teman lain berkata, kamu sehat sekarang. Dan itu adalah kabar terindah tentangmu kini.
Tetap sehat ya, agar Indahmu tetap ada. Aku menuliskan kalimat ini di balik kertas sketsa wajahku, lalu menyimpannya.
Comments
Post a Comment