Whohooo...Akhirnya keinginan saya berkunjung ke gunung selain Tsukuba-san terwujud. Bukan gunung Fuji yang didaki, tapi Takao San.
Alih-alih berharap akan bertemu track layaknya Tsukuba-san, ternyata oh ternyata, gunung Takao ini tak ubahnya bukit. Beneran bukit! hanya kurang lebih 500 m ketinggiannya, hahhahhah.. Boleh dong tertawa, karena saya benar-benar tertipu. Bener deh, ini gak banget. Tracknya cenderung datarrrrr.... Lebih terasa capeknya, kalo kita naek Gunung Kapur di belakang kampus IPB atau jalan ke curug Cibereum.
Sebelum saya bahas lebih jauh. Coba cek website ini. Website ini memberikan informasi singkat tentang track dan kondisi pariwisata Takao san. Ada 6 track yang bisa diambil untuk menuju Takao san ini, dan kami memutuskan untuk mengambil track yang lumayan menantang yakni track 6, yang lumayan panjang dan terdapat air terjun di sini.
Jalan di track 6 ini, bias dibilang relatif datar, dengan sungai di samping jalan setapak. Kita berjalan diiringi suara gemericik sungai. Hujan yang mengguyur daerah Tokyo membuat jalan yang kami lalui sedikit becek. total rute sekitar 3,6 km.
Dari awal perjalanan, kita sudah berusaha mencari air terjun yang disebutkan di peta maupun di website. Tapiiiii...eng ing eng, air terjunnya pendek banget, mirip air mancur. Padahal, di otak saya sudah terbayang air terjun bak Curug seribu di kaki gunung salak atau Curug Cibereum, di kaki gunung Gede. Jiiaah, yang seperti ini, ada di belakang rumah pringgo, samping kali hiihiiihihih...
Oke, tak usah sedih berlarut-larut. Perjalanan kami lanjutkan, menuju puncak. Nah ini dia bedanya, Puncak Takao san ini sudah dikelola apik. Berbagai fasilitas disediakan untuk memuaskan pengunjung. Ini perbedaan, wisata di Indonesia dan di Jepang, Fasilitasnya! Noted. Biarpun pada dasarnya, hanya "begini-begini" saja, mereka bisa mengemas semuanya dengan apik. Dibuat menara pandang, restoran, dan fasilitas lain yang mendukung.
Bicara tentang ekowisata, sebenarnya daya tarik ekowisata di Indonesia jauuuuuh di atas jepang, percaya deh. Kita punya gunung-gunung yang menjulang tinggi, air terjun yang megah, pemandangan pegunungan yang indah, bawah laut yang indah, hutan yang liar, ah semuanya ada deh.
Hanya saja ini perbedaaanya menurut saya.
1. Publikasi dan promosi.
Promosi pariwisata Jepang ini sangat baik sekali. Coba lihat, di dalam kereta, di setiap sudut kota, ada peta dan leaflet promosi pariwisata. Di sini setiap daerah, pasti punya ikon wisata. Promosinya juga dilakukan secara baik, terintegrasi dengan baik, dan saling mendukung antara satu dengan yang lain.
Contohnya, saat kita mengunjungi satu museum atau tempat wisata. Informasi tentang museum lain, yang ada di wilayah tersebut juga ikut-ikut dipromosikan serta ada tiket diskon untuk wisatawan yang akan mengunjungi beberapa museum sekaligus. Selain itu, ada juga paket diskon yang terintegrasi dengan transportasi lokal. Misalnya, ada diskon untuk pengunjung Tsukuba san yang menggunakan kereta Tsukuba Express
Hmmm, di Indonesia, saya belum menemukannya.
2. Fasilitas
Pemerintah jepang, sadar betul daya tarik wisatanya sebenarnya, itu-itu saja. Oleh karena itu, mereka bekerja keras untuk memaksimalkan yang sudah ada. Mereka juga berfikir bagaimana menarik orang untuk mengunjungi tempat wisata.
Misalnya, ada cable car dari puncak Tsukuba san hingga kaki gunung Tsukuba. Artinya, orang yang malas jalan, anak-anak atau orang tua bisa juga menikmati keindahan alamnya. Di Indonesia, Ekowisata masih menjadi wisata minat khusus, cenderung untuk orang yang hobi berpetualang, main outdoor, atau anak-anak pecinta alam. Bagaimana tidak, misalnya, untuk mencapai curug seribu , untuk nenek-nenek harus berfikir berkali-kali untuk menikamati keindahannya. Berbeda sekali dengan disini.
Oh ya, pernah saya temui, ada lift di air terjun. Jadi, tak perlu capek-capek untuk mendapatkan view bagus air terjun, cukup naik lift.
3. Interpretasi
Saat saya mengunjungi Takao san, semut pun disebutkan dalam papan interpretasi. Hmm, menakjubkan bukan. Jadi, tak hanya kepuasan yang didapat ketika mengunjungi lokasi wisata, tapi ilmu. Di sini juga, banyak sekali pemandu wisata disediakan jika ingin menggunakannya. Umumnya, mereka adalah volunteer.
Yup, 3 hal itu yang benar-benar bikin saya iri terhadap ekowisata di Jepang. Tapi, satu lagi yang perlu ditambahkan, yakni etika berwisata. Di sini, hampir semua lokasi wisata menerapkan peraturan bahwa sampah yang dibawa harus di bawa pulang kembali. Setiap orang disini juga sangat menjaga sikap dan bertanggung jawab di lokasi wisata. Jadi, meskipun lokais wisata alamnya diberi fasilitas layaknya tempat wisata massal, kerusakan yang terjadi sangat minim.
Satu pertanyaan yang terbesit, jika lokasi wisata alam Indonesia dibuat fasilitas mumpuni dan fasilitasnya mengarah ke wisata massal, apa keindahan lokasi wisata alam ini bisa terjaga. Hmmm ...
Tapi, bagaimanapun.. saya cinta Indonesia :). Semoga target snorkeling di karimun jawa, masuk hutan halimun, body rafting di Green canyon tahun ini terwujud. Ada yang mau join ? :)
Comments
Post a Comment