Saya : Pasuruan, Jawa Timur
Teman : Wah banyak orang Madura ya di sana?
Saya : Iya
Teman : Wah, kamu orang Madura juga ya?
Saya : Saya Jawa, tapi seandainya saya orang Madura memangnya kenapa?
****
Teman : Eh jangan mau menikah dengan pria suku sunda
Saya : Memangnya mengapa?
Teman : Katanya sih kurang bagus, mereka malas. Lebih baik menikah dengan orang jawa.
****
Obrolan-obrolan seperti di atas dan sejenisnya pasti sering didengar, apalagi jika anda hidup di tengah masyarakat multikultur, misalkan di perantauan atau di kampus yang umumnya heterogen. Untuk percakapan pertama adalah pertanyaan yang sering ditanyakan kepada saya saat saya memulai perkenalan di sini. Tepatnya di Pontianak, Kalimantan Barat. Di sini sinisme terhadap suku Madura sangatlah besar. Saya tak tahu pasti mengapa, tapi mayoritas jawaban dari teman saya di sini karena adanya perang suku yang dulu pernah terjadi di kota Kalimantan antara suku Dayak dan suku Madura yang sudah beberapa kali terjadi. Perang antar etnis ini tercatat terjadi di beberapa tempat antara lain Sanggauledo,(1996-1997) dan Sampit. Sedangkan percakapan kedua umum diobrolkan oleh masyarakat jawa yang masih rasis dan terlalu bangga dengan kesukuannya.
Rasisme budaya ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja.di luar negri praktik rasisme yang terkenal antara lain rasisme Eropa, Nazisme, Zionisme, serta gerakan anti-Amerika yang pada akhirnya juga memicu konflik. Contohnya saja peristiwa Holocaust yakni pembantaian besar-besaran Yahudi oleh Nazi yang korbannya mencapai 6 juta jiwa.
Hari Gini Masih Rasis?
Setiap anak manusia yang lahir tak bisa menuntut dia dilahirkan di suku apa. Selain itu, pasti semua masih ingat pelajaran sekolah dasar tentang pelajaran yang menjelaskan bahwa Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika. Hal ini menunjukka bahwa multikulturalisme di Indonesia merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar.
Dalam ajaran Islam saja Multikulturismme sudah diperkenalkan melalui kitab suci. Ditegaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku, laki-laki, dan perempuan. Nah perbedaan itu dimaksudkan agar kita saling mengenal dan melengkapi.
Saya yakin hanya sedikit yang setuju dengan prinsip yang dipegang oleh Punggawa Nazi Adolf Hitler sang Diktator yang mengusung prinsip “Bangsa yang besar adalah kreasi dari penduduk homogen dari ras agungyang sama-sama membentuk bangsa. Negara yang lemah adalah negara yang hetorogen”. Dan saya juga yakin pasti tidak ada yang menginginkan terjadinya lagi perang antar etnis seperti di atas.
Jadi stop sukuisme. Tidak ada suku yang paling baik, semua ada dengan karakter positif dan negative masing-masing. Toh Allah swt, tidak melihat sesorang dari suku apa, tetapi dari amalannya. Setuju?
Yang masih sukuisme dan rasisme, ke laut aja!!
STOP RACISM!!!
Sumber Bacaan :
Soyomukti, Nurani. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Ar-ruzz Media: Jogjakarta.
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Holocaust
Sumber Gambar:
http://ourfirstcomenius.wikispaces.com
oooohhh jadi bukunya utk nulis iniiii hehehe
ReplyDeleteberguna kaannn
bageeeessss d^.^b
setuju piiii....
ReplyDeleteGila hr gini di tengah perang udah sampe antar negara.... nah di qt masih aja sukuisme... pantesan negara lain gampang bgt ngadu domba qt. Di pelajaran sejarah aja nenek moyang qt udah di adu domba eh zaman skrg di tengah era globalisasi&moderenisasi yang notabennya masyrktnya dah lebih maju n pinter2 masih aja gampang di adu domba "devide et impera"...
Makanya jgn rasis dooonkkkk....biar qt bisa maju bareng2 mpe kapan mw berkembang???kpn majunya???
wkwkwkk...udah ga nyambung niy..mkin bnyk bacot aj...sory ye....numpang numpahin uneg2..hehehe
nice....
ReplyDeleteiya, emang kejadian yg dulu bwt warga pontianak! khususnya hubungan warga madura & dayak jd renggang. toh skr klo sedikit ja ada "hal" dgn 2 suku ini, issue langsung menyebar...