Tentang Canting
Beberapa minggu yang lalu saya membeli tanpa rencana sebuah Novel berjudul Canting karya Arswendo Atmowiloto yang diterbitkan pertama kali pada Juni 1986 dan kini sudah merupakan cetakan ketiga (2007). Saya sering mendengar perihal tentang novel ini yang berhasil mengangkat nama Novelis terkenal Indonesia yakni Arswendo Atmowiloto, dan ini membuat saya tak ragu membeli novel ini.
Mengutip dari resensi pada halaman terakhir novel, novel ini menceritakan tentang seorang perempuan Jawa bernama Ni, yang merupakan sarjana farmasi yang demi mempertahankan perusahaan batiknya melawan keterpurukan arus batik print, Ni harus berbuat banyak hal termasuk “tidak menjadi Jawa”. Budaya Jawa, merupakan pemegang kuat dari alur cerita ini dan menimbulkan konflik-konflik pada cerita ini.
Pada novel ini, kental terasa adanya stratifikasi sosial antara kaum bangsawan Jawa dengan kaum rakyat yang pada novel ini diposisikan sebagai buruh batik. Stratifikasi sosial itu selanjutnya berimbas pada system komunikasi yang pada akhirnya mematikan keberanian kaum dengan stratifikasi sosial lebih rendah (baca: kaum rakyat) untuk menentang atau menyampaikan inspirasinya.
Tentang Budaya Jawa
Saya suku jawa, tetapi di keluarga saya dan di lingkungan saya budaya jawa tidak begitu kental dipakai. Tetapi membaca novel seakan menghipnotis saya untuk belajar lebih budaya Jawa karena ternyata banyak hal yang cukup menarik baik secara filosofi, antroplogi, maupun sosiologi.
Saya menemukan beberapa quote yang saya temukan dari kegiatan blog walking terkait budaya Jawa dan saya rasa ini sesui dengan Novel Canting yang telah saya baca:
“ Budaya jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian, harmonis, dan berdampingan. Segala sesuatu yang menyebabkan ketidakcocokan harus segera dihindarai agar segera dicapai keseimbangan. “ –Wikipedia--
“Mikul Dhuwur Mendem Njero “—Soeharto--
Dari beberapa petikan kata yang saya tulis di atas, tampak keagungan luar biasa dari suku jawa. Setiap tindakan yang dilakukan adalah untuk menjaga suatu keseimbangan. “Mikul Dhuwur Mendem Njero” memiliki makna selalu menghormati orang tua dan menjaga pengetahuan tentang kesalahan pada diri mereka sendiri. Nah dari prinsip luhur itu ada beberapa “tapi” yang sangat mengusik pikiran saya.
Adanya stratifikasi sosial, kebiasaan untuk menghindari ketidakcocokan dengan segera di dalam budaya jawa bagi saya cukup mengusik. Tanpa bertendensi merendahkan budaya jawa, saya rasa sikap seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut akan menghasilkan dampak yang kurang bagus dan berakibat individu-individu kita tertutup takut menyampaikan aspirasinya apalagi menhadapi kaum dengan stratifikasi sosial yang lebih tinggi. Karena rasa hormat, bisa juga perbuatan menutupi kesalahan dan syndrome “tak enak” menurut saya bisa menjadi blunder bagi kemajuan bangsa yang dituntut kritis dan ingin tahu.
Tanpa disadari, budaya “tak enak” atau segan seringkali menyerang saya dan juga saya lihat beberapa orang di sekitar saya. Padahal saya rasa semua juga setuju budaya “tak enak” lebih banyak berimplikasi negative ketimbang positif. Hal ini menghambat adanya saran-saran segar dari kaum marginal, bawahan, staff, yang seringakali menjadi ide yang luar biasa atau bisa disebut juga dengan “Out of the Box Idea”.
Budaya “tak enak” yang menurut saya sudah mengakar di banyak orang di Indonesia ini harus segera dieliminir. Tentu saja dengan dieliminirnya budaya “tak enak” ini bukan berarti sikap menghormati yang lebih tua diacukan, tapi harus tetap dilakukan dengan mengacu pada kaidah kesopanan yang tidak merugikan siapapun.Ayo sama-sama berusaha!
Comments
Post a Comment