26 Juli 2010
17 : 10 WIB
Rintik hujan sore ini menemaniku menembus padatnya kota Surabaya. Motor butut warna merah ini menemaniku melaju ke sebuah biro perjalanan yang terletak di jalan Kayon Surabaya. Rentetan toko bunga di jalan Kayon ini seakan mengiringi bahagiaku yang menjelang. Tak kurang dari 10 jam aku akan menemuinya, Perempuanku di tanah perantauannya, Pontianak. Setelah menabung selama beberapa bulan, akhirnya cukup juga tabunganku untuk menemui perempuanku, Dinda.
“Tiket kemana Mas?”, tanya mbak yang bertugas di Biro Travel ini.
“Pontianak, penerbangan paling awal untuk esok hari”, jawabku pasti.
18.25 WIB
Aku dan sepeda motorku melaju ke arah jalan Blauran. Tepat di depan sebuah toko emas kecil aku berhenti dan segera memarkir motorku. Kulangkkahkan kakiku mendekati toko, melihat sebuah kaca setinggi dada yang memajang perhiasan yang berkilauan.
“Ko, coba lihat cincin emas putih ini”, pintaku seraya menunjuk sebuah cincin yang bertahtakan satu batu putih. “Berapa ini harganya Ko?”.
” Ini beratnya 2,5 gram jadi harganya satu juta empat ratus “, ujar si Koko penjual Emas.
“Saya ambil Ko. Oh ya, Ko tempat Cincin beludru warna hitam itu juga sekalian ya!”
19. 15 WIB
Kupilih kemeja biru berlengan pendek serta jeans kesayanganku untuk keberangkatanku esok hari ke Pontianak. Kuambil tas ranselku. Tak banyak yang kubawa. Kuselipkan kotak cincin berbungkus beludru hitam ini ke dalam tas ku. Tak lupa aku bawa kamera yang sengaja aku pinjam dari temanku untuk menggabadikan momen spesialku bersama Dinda perempuanku. Semua sudah beres tak ada yang tertinggal. Tak sabar rasanya menemuinya, perempuanku yang telah setia menungguku di Perantauannya.
21.03 WIB
Aku langsung browsing di Internet tempat-tempat mana saja yang bisa aku kunjungi di Pontianak. Ada beberapa tempat, salah satunya Tugu Khatulistiwa yang wajib di kunjungi. Aku menghimpun informasi sebnyak-banyaknya dari Internet. Aku sudah siap, teramat siap untuk keberangkatanku besok.
22.27 WIB
Aku mengantuk. Kuraih telpon genggamku untuk memasang alarm. Aku harus bangun pagi esok hari.
27 Juli 2010
05.10 WIB
Kuraih baju biruku yang telah kusetrika rapi semalam. Rasanya aku cukup tampan hari ini. Kusisir rapi rambutku dengan membubuhkan sedikit gel rambut. Kusemprotkan parfum khas lelaki yang dipakai banyak orang dengan kondisi ekonomi pas-pasan seperti aku. Memakai Sandal Gunung merk kenamaan di Indonesia, kulangkahkan kakiku ke luar kamar kosku menuju bandara Juanda, Waru Sidoarjo.
06.15 WIB
Memasuki Bandara Juanda. Masih pukul 06.15 WIB, pesawat ke Pontianak akan lepas landas pukul 07.30 WIB. Sambil menunggu aku menikmati acara tivi yang sengaja di letakkan di ruang tunggu tersebut, terlihat di layar televisi itu sebuah video klip musisi terkenal yang diiring lantunan musik romantis dengan syair cinta puitis. Semakin teringat aku pada perempuanku, Dinda.
07.30 WIB
Pesawat tinggal landas . Aku duduk di samping pintu darurat, di dekat sayap sebelah kanan. Bebeerapa menit kemudian sang pramugari yang mengenakan baju biru memberi air dan roti. Lumayan bisa mengganjal laparku, mengingat aku belum sarapan pagi ini.
08.15 WIB
Pesawat yang kutumpangi transit sejenak di Jogjakarta. Jogjakarta, kota yang menghadirkan sejuta kenangan antara aku dan Dinda. Di Kota ini kami bertemu saat kami sama-sama menempuh kuliah di sebuah universitas di kota pelajar ini. Tak terasa enam puluh menit berlalu, tak terasa. Pesawat pun tinggal landas menuju Pontianak.
09.55 WIB
Terik kota khatulistiwa menyambutku. Bandara Supadio, begitu nama Bandara kota Pontianak ini. Aku yang tanpa bagasi bisa dengan cepat keluar Bandara. Di situ aku lihat perempuanku, Dinda memandangku sambil tersenyum. Ia meraih tanganku. Tanpa banyak berkata dia menuntunku ke mobilnya.
” Jadi mau kemana kita Mas?”, tanya Dinda.
“Ajak aku putar-putar kota kemana kau suka”, jawabku sambil kupandangi dia penuh cinta.Ku kemudikan mobil ini sesuai instruksinya, menikmati kota Pontianak dengan perasaan bahagia tak terkira setelah bertemu Perempuanku, Dinda.
12.40 WIB
“Mas, kita makan siang di sini aja ya…”, sambil menunjuk sebuah restoran di tepi jalan.
Aku mengarahkan mobil tepat di depan restoran seafood yang terletak di Jalan Ahmad Yani Pontianak. Tak henti aku memndangi perempuanku yang semakin cantik setelah kurang lebih setahun tak bertemu. Dia lebih diam, tetapi dia banyak tersenyum dan aku semakin mencintainya kini.
“Mau pesan apa Mas?, Aku cumi goreng tepung ya…”, ucap Dinda
“ Udang steam dan Chinese tea”.
“Mas Aku ke toilet dulu ya…”.
Aku meraih tasku untuk mengambil kotak cincin beludru hitam. Aku ingin melamar Perempuanku. Terdengar bunyi handphone berdering. Handphone Dinda. Aku raih handphone itu dari tasnya. Dewandaru menelpon, demikian yang tampak dari smart phone-nya.
“Halo Dinda sayang, lagi apa kamu?”, suara yang ku dengar saat aku mengangkat handphone Dinda. Aku Diam. Aku marah. Tiba-tiba semua terasa suram bagiku. Aku tak tahu harus berkata apa. Sembilan belas jam yang lalu, kebahagiaan rasanya mengiringi setiap nafasku, namun dalam semenit saja sepertinya hilang kebahagiaan itu berganti duka.
“ Mas kenapa kok lemes gitu?”, suara Dinda mengagetkanku.
Aku diam, kumasukkan kembali kotak cincin beludru hitam ke dalam tasku.
17 : 10 WIB
Rintik hujan sore ini menemaniku menembus padatnya kota Surabaya. Motor butut warna merah ini menemaniku melaju ke sebuah biro perjalanan yang terletak di jalan Kayon Surabaya. Rentetan toko bunga di jalan Kayon ini seakan mengiringi bahagiaku yang menjelang. Tak kurang dari 10 jam aku akan menemuinya, Perempuanku di tanah perantauannya, Pontianak. Setelah menabung selama beberapa bulan, akhirnya cukup juga tabunganku untuk menemui perempuanku, Dinda.
“Tiket kemana Mas?”, tanya mbak yang bertugas di Biro Travel ini.
“Pontianak, penerbangan paling awal untuk esok hari”, jawabku pasti.
18.25 WIB
Aku dan sepeda motorku melaju ke arah jalan Blauran. Tepat di depan sebuah toko emas kecil aku berhenti dan segera memarkir motorku. Kulangkkahkan kakiku mendekati toko, melihat sebuah kaca setinggi dada yang memajang perhiasan yang berkilauan.
“Ko, coba lihat cincin emas putih ini”, pintaku seraya menunjuk sebuah cincin yang bertahtakan satu batu putih. “Berapa ini harganya Ko?”.
” Ini beratnya 2,5 gram jadi harganya satu juta empat ratus “, ujar si Koko penjual Emas.
“Saya ambil Ko. Oh ya, Ko tempat Cincin beludru warna hitam itu juga sekalian ya!”
19. 15 WIB
Kupilih kemeja biru berlengan pendek serta jeans kesayanganku untuk keberangkatanku esok hari ke Pontianak. Kuambil tas ranselku. Tak banyak yang kubawa. Kuselipkan kotak cincin berbungkus beludru hitam ini ke dalam tas ku. Tak lupa aku bawa kamera yang sengaja aku pinjam dari temanku untuk menggabadikan momen spesialku bersama Dinda perempuanku. Semua sudah beres tak ada yang tertinggal. Tak sabar rasanya menemuinya, perempuanku yang telah setia menungguku di Perantauannya.
21.03 WIB
Aku langsung browsing di Internet tempat-tempat mana saja yang bisa aku kunjungi di Pontianak. Ada beberapa tempat, salah satunya Tugu Khatulistiwa yang wajib di kunjungi. Aku menghimpun informasi sebnyak-banyaknya dari Internet. Aku sudah siap, teramat siap untuk keberangkatanku besok.
22.27 WIB
Aku mengantuk. Kuraih telpon genggamku untuk memasang alarm. Aku harus bangun pagi esok hari.
27 Juli 2010
05.10 WIB
Kuraih baju biruku yang telah kusetrika rapi semalam. Rasanya aku cukup tampan hari ini. Kusisir rapi rambutku dengan membubuhkan sedikit gel rambut. Kusemprotkan parfum khas lelaki yang dipakai banyak orang dengan kondisi ekonomi pas-pasan seperti aku. Memakai Sandal Gunung merk kenamaan di Indonesia, kulangkahkan kakiku ke luar kamar kosku menuju bandara Juanda, Waru Sidoarjo.
06.15 WIB
Memasuki Bandara Juanda. Masih pukul 06.15 WIB, pesawat ke Pontianak akan lepas landas pukul 07.30 WIB. Sambil menunggu aku menikmati acara tivi yang sengaja di letakkan di ruang tunggu tersebut, terlihat di layar televisi itu sebuah video klip musisi terkenal yang diiring lantunan musik romantis dengan syair cinta puitis. Semakin teringat aku pada perempuanku, Dinda.
07.30 WIB
Pesawat tinggal landas . Aku duduk di samping pintu darurat, di dekat sayap sebelah kanan. Bebeerapa menit kemudian sang pramugari yang mengenakan baju biru memberi air dan roti. Lumayan bisa mengganjal laparku, mengingat aku belum sarapan pagi ini.
08.15 WIB
Pesawat yang kutumpangi transit sejenak di Jogjakarta. Jogjakarta, kota yang menghadirkan sejuta kenangan antara aku dan Dinda. Di Kota ini kami bertemu saat kami sama-sama menempuh kuliah di sebuah universitas di kota pelajar ini. Tak terasa enam puluh menit berlalu, tak terasa. Pesawat pun tinggal landas menuju Pontianak.
09.55 WIB
Terik kota khatulistiwa menyambutku. Bandara Supadio, begitu nama Bandara kota Pontianak ini. Aku yang tanpa bagasi bisa dengan cepat keluar Bandara. Di situ aku lihat perempuanku, Dinda memandangku sambil tersenyum. Ia meraih tanganku. Tanpa banyak berkata dia menuntunku ke mobilnya.
” Jadi mau kemana kita Mas?”, tanya Dinda.
“Ajak aku putar-putar kota kemana kau suka”, jawabku sambil kupandangi dia penuh cinta.Ku kemudikan mobil ini sesuai instruksinya, menikmati kota Pontianak dengan perasaan bahagia tak terkira setelah bertemu Perempuanku, Dinda.
12.40 WIB
“Mas, kita makan siang di sini aja ya…”, sambil menunjuk sebuah restoran di tepi jalan.
Aku mengarahkan mobil tepat di depan restoran seafood yang terletak di Jalan Ahmad Yani Pontianak. Tak henti aku memndangi perempuanku yang semakin cantik setelah kurang lebih setahun tak bertemu. Dia lebih diam, tetapi dia banyak tersenyum dan aku semakin mencintainya kini.
“Mau pesan apa Mas?, Aku cumi goreng tepung ya…”, ucap Dinda
“ Udang steam dan Chinese tea”.
“Mas Aku ke toilet dulu ya…”.
Aku meraih tasku untuk mengambil kotak cincin beludru hitam. Aku ingin melamar Perempuanku. Terdengar bunyi handphone berdering. Handphone Dinda. Aku raih handphone itu dari tasnya. Dewandaru menelpon, demikian yang tampak dari smart phone-nya.
“Halo Dinda sayang, lagi apa kamu?”, suara yang ku dengar saat aku mengangkat handphone Dinda. Aku Diam. Aku marah. Tiba-tiba semua terasa suram bagiku. Aku tak tahu harus berkata apa. Sembilan belas jam yang lalu, kebahagiaan rasanya mengiringi setiap nafasku, namun dalam semenit saja sepertinya hilang kebahagiaan itu berganti duka.
“ Mas kenapa kok lemes gitu?”, suara Dinda mengagetkanku.
Aku diam, kumasukkan kembali kotak cincin beludru hitam ke dalam tasku.
Comments
Post a Comment