Dia datang dengan keadaan nihil, hanya baju yang melekat di badan saja. Tapi keringatnya terkucur selalu untuk mengokohkan kehidupannya. Keringatnya lalu tiba-tiba berubah menjadi butiran logam emas.
Tak lama setelah itu, dia punya banyak logam emas. Dia menukarkan logam mulia itu kemudian pelan-pelan membangun hidupnya. Pada awal bulan dia menjual beberapa keping logam mulianya untuk membeli pondasi rumah, lalu dia membeli genteng, asbes, pintu, semen dan batu bata. Tak butuh waktu lama, ia sudah hidup di atas kemapanan sekarang.
"Wah, aku kagum padanya. kesuksesannya luar biasa", ucap semua orang yang melihatanya. Lalu wajahnya pun muncul pada lembaran-lembaran koran dan majalah. Ia senang sekali.
Ia teramat senang sekarang. Ia dipuja-puja. Ia berhasil kini dan tak lagi nihil seperti dulu. Gundukan emasnya semakin tinggi. Ia ambil segenggam. Lalu ia tukarkan emas itu dengan kaca yang ia gunakan untuk mengganti tembok di kamarnya. Agar banyak orang melihatnya, pikirnya.
Rumah tembokpun berganti menjadi rumah kaca. Kaca di rumahnya bening. Semakin banyak orang yang mendekatinya dan mengaguminya. Ia semakin senang. Semakin hari, semakin bnyak yang melihatnya, terkagum-kagum hingga rumahnya penuh sesak hingga semua orang berebut untuk melihat dirinya yang berada di dalam rumah kacanya yang megah.
"Prang", suara kaca pecah karena terdorong oleh banyak orang yang berada di luar kaca. Ia murka. Marah kepada semua orang lalu melemparkan serpihan-serpihan kaca itu kepada orang-orang yang mengerumuni rumahnya.
Ia marah. Lalu ia tukar lagi emasnya untuk membeli kaca lagi. Bukan kaca yang sama, tapi kaca anti peluru yang dia lapisi dengan kaca film. Ia senang, pasti semakin banyak orang mengagumi kekokohan rumahnya. Rumah kaca dari anti pelurunya sudah berdiri kokoh.
"mana orang-orang itu?", tanyanya dalam hati.
"hei..lihatlah rumahku yang kokoh ini", ia lalu berteriak. Tapi, rumahnya terlalu kokoh, didndingnya terlalu tebal dan hitam. Tak ada satupun orang yang mendengaranya.
"hei...lihat aku", dia berteriak lagi berkali-kali hingga lunglai. Nafasnya mulai habis seiring menipisnya oksigen di rumah kacanya. Ia terbaring tak berdaya dengan kepala menempel di kaca tebalnya. Tapi rupanya ia lupa, kacanya terlalu tebal dan hitam. Lalu dia juga lupa, menyisipkan lubang ventilasi di rumah kacahnya yang megah.
Tak lama setelah itu, dia punya banyak logam emas. Dia menukarkan logam mulia itu kemudian pelan-pelan membangun hidupnya. Pada awal bulan dia menjual beberapa keping logam mulianya untuk membeli pondasi rumah, lalu dia membeli genteng, asbes, pintu, semen dan batu bata. Tak butuh waktu lama, ia sudah hidup di atas kemapanan sekarang.
"Wah, aku kagum padanya. kesuksesannya luar biasa", ucap semua orang yang melihatanya. Lalu wajahnya pun muncul pada lembaran-lembaran koran dan majalah. Ia senang sekali.
Ia teramat senang sekarang. Ia dipuja-puja. Ia berhasil kini dan tak lagi nihil seperti dulu. Gundukan emasnya semakin tinggi. Ia ambil segenggam. Lalu ia tukarkan emas itu dengan kaca yang ia gunakan untuk mengganti tembok di kamarnya. Agar banyak orang melihatnya, pikirnya.
Rumah tembokpun berganti menjadi rumah kaca. Kaca di rumahnya bening. Semakin banyak orang yang mendekatinya dan mengaguminya. Ia semakin senang. Semakin hari, semakin bnyak yang melihatnya, terkagum-kagum hingga rumahnya penuh sesak hingga semua orang berebut untuk melihat dirinya yang berada di dalam rumah kacanya yang megah.
"Prang", suara kaca pecah karena terdorong oleh banyak orang yang berada di luar kaca. Ia murka. Marah kepada semua orang lalu melemparkan serpihan-serpihan kaca itu kepada orang-orang yang mengerumuni rumahnya.
Ia marah. Lalu ia tukar lagi emasnya untuk membeli kaca lagi. Bukan kaca yang sama, tapi kaca anti peluru yang dia lapisi dengan kaca film. Ia senang, pasti semakin banyak orang mengagumi kekokohan rumahnya. Rumah kaca dari anti pelurunya sudah berdiri kokoh.
"mana orang-orang itu?", tanyanya dalam hati.
"hei..lihatlah rumahku yang kokoh ini", ia lalu berteriak. Tapi, rumahnya terlalu kokoh, didndingnya terlalu tebal dan hitam. Tak ada satupun orang yang mendengaranya.
"hei...lihat aku", dia berteriak lagi berkali-kali hingga lunglai. Nafasnya mulai habis seiring menipisnya oksigen di rumah kacanya. Ia terbaring tak berdaya dengan kepala menempel di kaca tebalnya. Tapi rupanya ia lupa, kacanya terlalu tebal dan hitam. Lalu dia juga lupa, menyisipkan lubang ventilasi di rumah kacahnya yang megah.
Comments
Post a Comment