uara pasir mendesah romantis siang ini. Pasir dan angin bersentuhan lalu mendesah dan membisikkan kata cinta padaku, saat kulihat gadis itu. Gadis itu Ratna, penjaja syal di lautan pasir bromo ini. Ratna, gadis tengger ayu yang mempesonaku sungguh.
“Ratna, ayo mulih!. Sudah sepi di sini, wisatawannya wis mulih “, aku mendekatinya sambil menunggang kudaku.
“Iyo Mas, Aku juga mau pulang kok!”,
“ Gimana? Ramai hari ini?” tanyaku.
“Lumayan..”, katanya dengan senyum yang serasa langsung melelehkan hatiku. Dia mendekat lalu naik dengan pasti ke atas kuda putihku.
“Wis siap!”, ujarnya sambil berteriak. Aku tersenyum lalu kupacu kudaku kembali ke desa tempat tinggal kami yang hanya berjarak setengah jam dari lautan pasir bromo.
****
Cukup sarung hijau bermotif kotak-kotak ini menjadi penangkal dingin. Subuh ini, seperti biasa aku menembus kabut dingin Bromo berteman kudaku menuju lautan pasir berjuang mencari rejeki dan keberuntungan dengan menawarkan jasa tunggangan kuda kepada pengunjung yang hendak melihat keperkasaan kawah bromo. Saat ini adalah bulan Juli, saat memanen rejeki sebanyak-banyaknya karena bertepatan dengan musim liburan sekolah. Hari ini pendapatanku lumayan. Aku berencana mengajak makan Ratna, sang gadis tengger yang ayu itu.
Kulayangkan pandangku jauh mencari di sekeliling laut pasir bromo. Kulihat Ratna berdiri di hammparan pasir kurang lebih 400 meter dariku. Sudah waktunya pulang, pikirku. Aku naik ke punggung kudaku dan kupacu kearah Ratna berdiri. Tak lama berselang, kulihat Ratna masuk ke dalam mobil jeep hijau yang dikendarai seorang pemuda yang tampan. Kulihat mereka bercanda akrab, sangat akrab. Seketika terasa lautan pasir ini panas, tapi ada kebekuan yang tiba-tiba menyeruak ke dada. Aku diam sesaat, lalu kupacu kudaku ke arah yang aku sendiri tak tahu dimana.
****
Pai ini, seperti biasa aku berbalut kain sarung memecah dingin Bromo bersama kudaku ke lautan pasir. Pagi ini rasanya lebih dingin dibanding pagi-pagi sebelumnya, jiwaku rasa beku setelah kejadian sore kemarin. Aku beku, kaku.
“Mas, kemarin kemana? ta’ cari ke rumah kok gak ada?”, suara Ratna mengagetkanku.
“Aku kemarin sama sepupuku mau main ke tempat Mas, tapi gak ada”, ucapnya lagi sambil merapikan syal-syal dagangannya.
“Sepupu, yang mana?”, tanyaku datar tanpa memandang wajah Ratna.
“Kemarin, ada sepupu Bapak dari Pasuruan. Kebetulan dia bawa mobil jeep kemarin, rencananya aku mau jak dia jalan-jalan sama Mas sekalian”, jelas Ratna.
“Oh jadi yang bawa jeep hijau itu sepupumu?”
“ Iya, lho Mas koka tahu?”, tanya Ratna.
Aku tersenyum bersamaan dengan hembusan angin bercampur pasir yang seakan membisikkan kata cinta seluas lautan pasir bromo ini.
“Ratna, ayo mulih!. Sudah sepi di sini, wisatawannya wis mulih “, aku mendekatinya sambil menunggang kudaku.
“Iyo Mas, Aku juga mau pulang kok!”,
“ Gimana? Ramai hari ini?” tanyaku.
“Lumayan..”, katanya dengan senyum yang serasa langsung melelehkan hatiku. Dia mendekat lalu naik dengan pasti ke atas kuda putihku.
“Wis siap!”, ujarnya sambil berteriak. Aku tersenyum lalu kupacu kudaku kembali ke desa tempat tinggal kami yang hanya berjarak setengah jam dari lautan pasir bromo.
****
Cukup sarung hijau bermotif kotak-kotak ini menjadi penangkal dingin. Subuh ini, seperti biasa aku menembus kabut dingin Bromo berteman kudaku menuju lautan pasir berjuang mencari rejeki dan keberuntungan dengan menawarkan jasa tunggangan kuda kepada pengunjung yang hendak melihat keperkasaan kawah bromo. Saat ini adalah bulan Juli, saat memanen rejeki sebanyak-banyaknya karena bertepatan dengan musim liburan sekolah. Hari ini pendapatanku lumayan. Aku berencana mengajak makan Ratna, sang gadis tengger yang ayu itu.
Kulayangkan pandangku jauh mencari di sekeliling laut pasir bromo. Kulihat Ratna berdiri di hammparan pasir kurang lebih 400 meter dariku. Sudah waktunya pulang, pikirku. Aku naik ke punggung kudaku dan kupacu kearah Ratna berdiri. Tak lama berselang, kulihat Ratna masuk ke dalam mobil jeep hijau yang dikendarai seorang pemuda yang tampan. Kulihat mereka bercanda akrab, sangat akrab. Seketika terasa lautan pasir ini panas, tapi ada kebekuan yang tiba-tiba menyeruak ke dada. Aku diam sesaat, lalu kupacu kudaku ke arah yang aku sendiri tak tahu dimana.
****
Pai ini, seperti biasa aku berbalut kain sarung memecah dingin Bromo bersama kudaku ke lautan pasir. Pagi ini rasanya lebih dingin dibanding pagi-pagi sebelumnya, jiwaku rasa beku setelah kejadian sore kemarin. Aku beku, kaku.
“Mas, kemarin kemana? ta’ cari ke rumah kok gak ada?”, suara Ratna mengagetkanku.
“Aku kemarin sama sepupuku mau main ke tempat Mas, tapi gak ada”, ucapnya lagi sambil merapikan syal-syal dagangannya.
“Sepupu, yang mana?”, tanyaku datar tanpa memandang wajah Ratna.
“Kemarin, ada sepupu Bapak dari Pasuruan. Kebetulan dia bawa mobil jeep kemarin, rencananya aku mau jak dia jalan-jalan sama Mas sekalian”, jelas Ratna.
“Oh jadi yang bawa jeep hijau itu sepupumu?”
“ Iya, lho Mas koka tahu?”, tanya Ratna.
Aku tersenyum bersamaan dengan hembusan angin bercampur pasir yang seakan membisikkan kata cinta seluas lautan pasir bromo ini.
Comments
Post a Comment