Kulihat kau raih gitarmu dan mulai bernyanyi.
" Lagu ini untukmu...", ucapmu sambil memetik senar-senar menjadi suatu alunan melodi seraya memulai bernyanyi.
" Lagu ini untukmu...", ucapmu sambil memetik senar-senar menjadi suatu alunan melodi seraya memulai bernyanyi.
kau yang paling setia, kau yang teristimewa
kau yang aku cinta, cuma engkau saja
dari semua pria aku yang juara
dari semua wanita kau yang paling sejiwa
denganmu semua air mata menjadi tawa suka ria
akankah kau selalu ada menemani dalam suka duka
denganmu aku bahagia, denganmu semua ceria
janganlah kau berpaling dariku karena kamu cuma satu untukku
kau satu-satunya dan tak ada dua
apalagi tiga, cuma engkau saja.
"cuma engkau saja", ucapmu lagi menutup lagu ini.
-------------------
Katamu dulu aku cuma satu. Ah, tapi itu benar itu saat itu, bukan sekarang. Waktu terus berdetak dan perubahan juga mengiringi detakan jam dinding itu. Tak ada yang abadi, kata banyak orang. Semua berubah. Tapi aku berusaha biasa. Aku berusaha hidup dengan warnaku sendiri. Mungkin warnaku semburat, tak teratur. Tapi toh pelangi juga terbentuk karena adanya semburat air.
Dalam dekapan malam, aku berusaha terlelap, menyerahkan jiwaku pada sang malam. Ku nyalakan radio sebagai pengiringku ke dalam pelukan malam.
kau satu-satunya dan tak ada dua
apalagi tiga, cuma engkau saja.
Kudengar sepotong bait lagu itu, lagu yang pernah kau nyanyikan untukku dulu.
"Klik!", aku matikan radio.
Dalam dekapan malam, aku berusaha terlelap, menyerahkan jiwaku pada sang malam. Ku nyalakan radio sebagai pengiringku ke dalam pelukan malam.
kau satu-satunya dan tak ada dua
apalagi tiga, cuma engkau saja.
Kudengar sepotong bait lagu itu, lagu yang pernah kau nyanyikan untukku dulu.
"Klik!", aku matikan radio.
Comments
Post a Comment